Kamis, 25 Februari 2016

“KEPEMIMPINAN DALAM GEREJA PERJANJIAN BARU”



KEPEMIMPINAN DALAM GEREJA PERJANJIAN BARU

Kita telah membahas bahwa di dalam gereja Perjanjian Baru atau jemaat mula-mula, jemaat “saling melayani” hingga tidak membutuhkan seorang superstar rohani di tengah mereka. Jemaat mula-mula dipimpin oleh seorang Kristen yang memiliki kedewasaan dalam Kristus dan nyata dalam karakter kesehariannya. Dalam Alkitab mereka disebut penatua atau penilik yang bertugas menggembalakan jemaat Tuhan.
Di dalam jemaat mula-mula penatua lebih merupakan pada fungsi dan bukan titel semata.
Mengapa sekarang kepemimpinan gereja dipimpin oleh para imam profesional? Ini merupakan bukti kegagalan gereja di dalam menghasilkan murid dan pemimpin secara alamiah. Keengganan umat Tuhan untuk bertumbuh di dalam Dia dan mengambil tanggungjawab yang Tuhan berikan membuat sebagian besar umat Tuhan mengalihkan panggilan tersebut. Entah benar-benar tidak tahu bahwa semua orang percaya dipanggil untuk menjadi “imam dan raja” atau tidak mau tahu. Ada pula sebagian yang merasa tidak layak untuk membangun hubungan dan melayani Tuhan maka dibuatlah organisasi profesional untuk mengakomodasi hal tersebut dan mengangkat seseorang atau beberapa orang yang bertugas untuk menjalankan roda organisasi atau institusi.
Keadaan ini pertama kali muncul pada masa para Hakim di Israel, saat orang berbuat apa yang benar menurut dirinya sendiri (Hakim-Hakim 17:6)

Hakim-Hakim 17:6 Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.

Hakim-Hakim 17:10 Lalu kata Mikha kepadanya: "Tinggallah padaku dan jadilah bapak dan imam bagiku; maka setiap tahun aku akan memberikan kepadamu sepuluh uang perak, sepasang pakaian serta makananmu."
Inilah awal mula munculnya “para imam dan bapak profesional” yang diawali imam khusus untuk sebuah keluarga lalu menjadi imam khusus untuk satu suku.


Hakim-Hakim 18:19 Tetapi jawab mereka kepadanya: "Diamlah, tutup mulut, ikutlah kami dan jadilah bapak dan imam kami. Apakah yang lebih baik bagimu: menjadi imam untuk seisi rumah satu orang atau menjadi imam untuk suatu suku dan kaum di antara orang Israel?"

FILOSOFI KEPEMIMPINAN ALKITAB

Dalam Alkitab, kita dapat melihat setiap disebutkan tentang kepemimpinan maka senantiasa dihubungkan pada:

-          Servant leadership (Kepemimpinan kehambaan) sebagaimana tertulis dalam Markus 10:43-44,” Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.
-
-          Fathering leadership (kepemimpinan pembapaan) sebagaimana ada tertulis dalam 1 Tesalonika 2:11,” Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasihati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang.”

-          Kepemimpinan keteladanan sebagaimana ada tertulis dalam 1 Korintus 4:6,” Saudara-saudara, kata-kata ini aku kenakan pada diriku sendiri dan pada Apolos, karena kamu, supaya dari teladan kami kamu belajar apakah artinya ungkapan: “Jangan melampaui yang ada tertulis”, supaya jangan ada di antara kamu yang menyombongkan diri dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang lain.”
-Begitu pula dalam 2 Timotius 3:10,” Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku.”
-


Kita bandingkan juga pola kepemimpinan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru:

PERJANJIAN LAMA                                               PERJANJIAN BARU


ALLAH                                                                               ALLAH
     
PEMIMPIN                                                                                             
                                                                      PEMIMPIN               UMAT
UMAT

Kriteria Pemimpin yang Alkitabiah:

  1. Memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan (Yohanes 15:1-6)
  2. Memiliki karakter ilahi (1 Timotius 3:2-3)
  3. Autensitas (bertindak sebagaimana yang dikatakan dengan tepat dan sungguh-sungguh)
  4. Integritas (terpadunya gaya hidup dan keyakinan) (Amsal 10:9, 11:3)
  5. Kerendahan hati.
  6. Mahir membangun hubungan (Matius 23:8, Yohanes 15:15)

Otoritas di dalam gereja merupakan topik yang hangat diperbincangkan . Pertama-tama kita perlu mengerti dua kata yang memiliki makna berbeda berhubungan dengan aspek otoritas ini  :
-          Dunamis, yang biasanya di dalam Perjanjian baru diterjemahkan sebagai kuasa. Pribadi yang memiliki kuasa adalah Tuhan, Yesus, Roh Kudus, malaikat dan Iblis. Manusia memiliki kuasa dari dirinya sendiri, mereka  diberikan pula kuasa oleh yang memiliki kuasa diatasnya.
-          Exousia, kata ini biasanya diterjemahkan sebagai kuasa atau otoritas. Dalam Perjanjian Baru dinyatakan siapa yang memiliki exousia sama dengan yang memiliki dunamis. Raja memiliki otoritas untuk memerintah (Roma 13:1-2), murid-murid Yesus memiliki otoritas atas sakit penyakit dan roh jahat (Matius 10:1). Orang Kristen memiliki otoritas atas berbagai hal dalam kehidupan mereka seperti benda milik (Kisah para Rasul 5:4), makan, minum, menikah (1 Korintus 11:10). Walaupun demikian dalam Perjanjian Baru tidak pernah dikatakan bahwa orang Kristen memiliki otoritas atas sesama saudara seiman. Kecuali dalam 2 Korintus 10:8,” Bahkan, jikalau aku agak berlebih-lebihan bermegah atas kuasa, yang dikaruniakan Tuhan kepada kami untuk membangun dan bukan untuk meruntuhkan kamu, maka dalam hal itu aku tidak akan mendapat malu.” Dan ayat 13:10,”Itulah sebabnya sekali ini aku menulis kepada kamu ketika aku berjauhan dengan kamu, supaya bila aku berada di tengah-tengah kamu, aku tidak terpaksa bertindak keras menurut kuasa yang dianugerahkan Tuhan kepadaku untuk membangun dan bukan untuk meruntuhkan.”
-Paulus berkata ia mempunyai otoritas untuk membangun dan bukannya untuk meruntuhkan. Penjelasan dari ayat-ayat di atas:
a.           Paulus tidak mengatakan bahwa ia mempunyai otoritas “atas” seseorang atau sekelompok orang tetapi ia memiliki otoritas “untuk” suatu tujuan.
b.           Konteks surat ini ditandai dengan nada persuasi atau bujukan.

Bila demikian pada siapa kita harus taat dan tunduk? Jika kita melihat penggunaan kata “taat” (hupakouo) dalam Perjanjian Baru maka kita akan melihat bahwa kita diharuskan taat kepada Allah, Injil (Roma 10:16), doktrin para rasul (Filipi 2:12, 2 Tesalonika 3:14), anak terhadap orangtuanya (Efesus 6:1), hamba kepada tuannya (Efesus 6:1,5). Tidak ada ketentuan orang Kristen harus taat pada penatua atau pendeta gerejanya.

Tetapi bagaimana dengan Ibrani 13:17? “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu.”
Mari kita perhatikan kata “taat” dalam ayat ini. Kata “taat” dalam ayat ini menggunakan kata peitho yang berarti “meyakinkan”. Dalam kalimat ayat di atas tadi itu berarti “biarkan dirimu diyakinkan oleh” atau “mempunyai keyakinan yang dalam”. Jadi maksud ayat itu bukanlah ketaatan membabi buta tetapi orang percaya memberikan dirinya diyakinkan oleh pemimpinnya setelah mereka berdiskusi dan membuka hati terhadap apa yang mereka sampaikan.
Kata lain lagi yang ada pada ayat di atas adalah kata “tunduk”. Kata yang digunakan disini berbeda dengan kata tunduk yang biasanya digunakan pada ayat-ayat lain yaitu “hupotasomai”, dalam ayat ini digunakan kata “hupeitko” dan hanya digunakan pada ayat ini saja. Arti hupeitko dapat digambarkan (bila dalam kemiliteran)  adalah suatu diskusi yang serius, suatu pertukaran tempat setelah salah seorang atau partai(kelompok) menyerah. Jemaat tunduk sebab telah terjadi diskusi terlebih dulu, disadarkan dan dipersuasi. Ia tunduk karena percaya bukan “tunduk mati atau membabi buta”.


KITA DIPANGGIL MENJADI AYAH (BAPA), PEMIMPIN DAN MENTOR

Dalam Maleaki 4:5-6 dinubuatkan bahwa akan ada pemulihan fungsi ayah rohani di hari akhir,” Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari TUHAN yang besar dan dahsyat itu. Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga musnah.” Pemulihan tersebut dimulai sejak pelayanan Yohanes Pembaptis, dalam Lukas 1:17 dikatakan,” dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang benar dan dengan demikian menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya.”
Menjadi seorang “ayah rohani” merupakan sesuatu yang ditekankan dalam Alkitab karena Tuhan sendiri menyatakan dirinya sebagai ayah atau bapa. Mazmur 103:13, “Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.” Di dalam Yohanes 14:18, Tuhan Yesus menyatakan” Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu.”
Generasi ini telah kehilangan figur ayah yang baik, mereka seperti Filipus di dalam Yohanes 14:8 Kata Filipus kepada-Nya: “Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami.” Gereja selama ini telah gagal dalam fungsi pembapaan bagi generasi. Gereja yang seharusnya kental dengan nuansa keluarga kini berubah bernuansa perusahaan. Ada pertentangan model kepemimpinan antara fathering leadership (kepemimpinan pembapaan) dengan CEO leadership (kepemimpinan perusahaan).

Gereja harus membapai generasi ini, bila tidak maka “orang lain” akan membapai generasi ini kepada kebinasaan. Sejarah membuktikan ketika Perang Dunia I usai, anak muda di Jerman tidak memiliki figur “ayah” sebab banyak diantara ayah mereka tewas dalam peperangan tersebut. Kala itu bangkit seorang muda yang karismatik bernama Adolf Hitler dan ia menjadi “ayah” bagi generasi terhilang ini. Selanjutnya kita semua tahu, sejarah berbicara mengenai terjadinya Perang Dunia II. Gereja harus segera bangkit membapai generasi atau seorang antikristus lain akan mempengaruhi generasi ini pula.


Kepemimpinan Pembapaan (Fathering Leadership)

Tujuan kepemimpinan pembapaan adalah membangkitkan pemimpin yang mempersiapkan umat yang layak bagi Tuhan.
Dalam 1 Korintus 4:14-17,” Hal ini kutuliskan bukan untuk memalukan kamu, tetapi untuk menegor kamu sebagai anak-anakku yang kukasihi. Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banyak bapa. Karena akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi bapamu oleh Injil yang kuberitakan kepadamu. Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku! Justru itulah sebabnya aku mengirimkan kepadamu Timotius, yang adalah anakku yang kekasih dan yang setia dalam Tuhan. Ia akan memperingatkan kamu akan hidup yang kuturuti dalam Kristus Yesus, seperti yang kuajarkan di mana-mana dalam setiap jemaat”, disini terdapat 4 hal yang mendasari kepemimpinan pembapaan:

  1. Injil Yesus Kristus, Injil Yesus Kristus mempunyai tiga ciri yaitu Kebenaran (Firman Allah), Anugerah (bukan karena usaha kita) dan Sukacita (bukan keluhan atau bersungut-sungut). Dengan demikian maka kepemimpinan pembapaan memiliki ciri berdasarkan kebenaran, anugerah dan sukacita.
  2. Hubungan kasih, kepemimpinan pembapaan didasarkan pada hubungan yang penuh kasih. Kasih disini merupakan kasih tanpa syarat, kasih yang tidak mementingkan diri sendiri dan dalam kasih seorang “ayah” mengembangkan “anak”.
  3. Teladan kehidupan, seorang anak tidak selalu mendengar apa kata ayahnya tetapi seringkali meniru sikap sang ayah. Sebab itu keteladanan merupakan dasar kepemimpinan ini. Teladan berbicara mengenai karakter, saat “sang ayah” mengambil keputusan, motivasi, integritas kehidupan.
  4. Kepercayaan, selalu terjadi dua arah, perlu waktu dan kedekatan hubungan.

Keempat hal di atas akan menghasilkan OTORITAS.

Kepemimpinan pembapaan berbicara mengenai kepemimpinan yang:

    1. Menjadi model atau teladan dalam kehidupan sehari-hari.
    2. Terbuka, rendah hati dan orang lain dapat melihat kehidupan pribadinya dengan keluarga.
    3. Yakin akan panggilan Tuhan dalam hidupnya.
    4. Selalu hadir dan ada kala dibutuhkan.

Tanda seorang “ayah atau bapa rohani” dapat kita lihat ciri khas seperti fleksibel ( tidak takut berbuat salah), dapat diandalkan, dapat dipercaya, lemah lembut dan rendah hati (tidak memaksakan kehendak).

Mari kita lihat definisi seorang ayah atau bapa, dalam bahasa Ibrani adalah Abba, ini merupakan sebutan atau titel dan arti kata ini adalah sumber atau pemelihara. Sedang dalam bahasa Yunani adalah Pater yang berarti sumber dan pemelihara (yang mendukung). Kata Bapa disebut juga sebagai fondasi dari semuanya.

Bila seseorang kehilangan figur “ayah” maka ia akan kehilangan identitas diri, kasih sayang dan tujuan hidup.
Visi kita adalah membangkitkan sumber-sumber yang baik untuk menghasilkan anak-anak atau generasi yang baik kini.

Fungsi “ayah” (bapa) adalah:

    1. Memberikan rasa aman.
Rasa aman adalah kebutuhan manusia secara naluri sejak bayi. Seorang bayi secara naluriah selalu memegang erat setiap tangan yang diulurkan kepadanya. Alkitab menasehatkan kita agar jangan takut, ini menunjukkan  bahwa Tuhan memberikan rasa aman kepada kita. Gereja seharusnya dapat berfungsi sebagai ayah dan ibu. 1 Tesalonika
2:7-12, “Tetapi kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya. Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi. Sebab kamu masih ingat, saudara-saudara, akan usaha dan jerih lelah kami. Sementara kami bekerja siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapa pun juga di antara kamu, kami memberitakan Injil Allah kepada kamu. Kamu adalah saksi, demikian juga Allah, betapa saleh, adil dan tak bercacatnya kami berlaku di antara kamu, yang percaya. Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasihati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang, dan meminta dengan sangat, supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memanggil kamu ke dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya.”
Fungsi ibu adalah menasehati dan menguatkan hati agar anak berani mengambil keputusan dan menjadi percaya diri. Seorang ibu yang meminta dengan sangat atau mendisiplin supaya anak Tuhan, tanpa mempermalukan anaknya. 1 Korintus 4:14-15, ”Hal ini kutuliskan bukan untuk memalukan kamu, tetapi untuk menegor kamu sebagai anak-anakku yang kukasihi. Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banyak bapa. Karena akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi bapamu oleh Injil yang kuberitakan kepadamu.”
Orangtua, ayah dan ibu membentuk karakter anak-anaknya.

    1. Menyediakan ruang bila melakukan kesalahan
Kita harus menyadari bahwa seorang anak tak sempurna, ia pun dapat melakukan kesalahan. Sebab itu kita tidak boleh menuntut kesempurnaan. Bila kita ingat si bungsu dalam kisah “anak terhilang” dalam Lukas 15, kita dapat melihat teladan bagaimana seorang ayah dapat menerima kembali anak yang telah menyakiti, berdosa dan meninggalkan dirinya.

    1. Menyediakan ruang dan mendorong anak agar kreatif
Ada tiga hal yang patut diperhatikan sebelum kita mendisiplin anak:
-          Jangan mendisiplin dalam keadaan marah dengan berbagai ancaman. Disiplin anak dalam kasih, ada “rasa sakit” saat kita memutuskan untuk memberikan disiplin. “Rasa sakit” akibat kita didorong oleh kasih bukannya amarah. Kita harus mendisiplin sebelum terlambat.
-          Setiap anak memiliki temperamen berbeda sehingga cara pendisiplinan pun berbeda.
-          Mendisiplin anak tidak boleh menyakiti hatinya. Kolose 3:21,” Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” Ingat tangan berfungsi untuk mengasihi atau membelai anak dan bekerja. Alkitab mengajarkan dalam kitab Amsal “media” untuk mendisiplin adalah rotan.


Membapai generasi

Pembapaan dimulai semenjak kita memberitakan Injil pada seseorang, 1 Korintus 4:15-16,” Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banyak bapa. Karena akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi bapamu oleh Injil yang kuberitakan kepadamu. Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!” Beberapa hal yang perlu diketahui perihal pembapaan:

  1. Pembapaan terjadi karena “hubungan”, bukan “sebutan atau panggilan”. Hal ini digambarkan dalam 1 Tesalonika 2:7,” Tetapi kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya.” Rasul Paulus  menggambarkan dirinya sebagai seorang ibu yang merawat dan mengasuh. Mengasuh berbicara mengenai penjagaan dan merawat berbicara mengenai pertumbuhan. Seorang ibu yang penuh kasih  pasti dekat dengan anaknya. 4 langkah untuk membangun hubungan adalah:

-          Selangkah demi selangkah, hubungan merupakan suatu proses.
-          Belajar dari pengalaman, hubungan terjadi sebab ada proses pembelajaran karena pengalaman dalam kebersamaan.
-          Keterlibatan emosional, hubungan terjadi dan makin erat sebab melibatkan keterlibatan emosional.
-          Sederhana, hubungan menjadikan segala sesuatu sederhana dan tidak rumit.
  1. Pembapaan berarti membagi hidup kita dengan orang lain. Apa yang dimaksud dengan membagi hidup? Itu berarti kita membagi waktu, tenaga, emosi, dll. 1 Tesalonika 2:8,”Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi.” Kunci pembapaan adalah mencari dan menemukan kebutuhan orang yang kita layani selayak orangtua mencari tahu kebutuhan mendasar anaknya.
  2. Pembapaan bersifat pribadi. Paulus memperhatikan setiap orang. 1 Tesalonika 2:11-12,”Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasihati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang, dan meminta dengan sangat, supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memanggil kamu ke dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya.”

Mentoring

Sebenarnya Mentor adalah nama seseorang yang pada masa lalu ditugaskan menjaga anak raja selama beliau pergi berperang. Karena ia menjalankan tugas dengan baik dalam mendidik putra mahkota itulah sampai kini terlahir istilah mentor atau yang dalam bahasa Indonesia berarti penasehat.
Seorang mentor akan melakukan mentoring (tugas menasehati dan membimbing) dan hal ini dapat terjadi bila ada hubungan dua arah. Markus 1:16-18,” Ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Ia melihat Simon dan Andreas, saudara Simon. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka penjala ikan. Yesus berkata kepada mereka: “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” Lalu mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. Tuhan Yesus memanggil orang-orang yang akan Ia muridkan. Proses “mentoring” harus ada persetujuan atau kesepakatan keduabelah pihak. Amos 3:3,” Berjalankah dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji?” Dasar suatu hubungan dalam mentoring adalah kasih, seorang mentor mampu melihat potensi seorang murid (anak rohani), optimis terhadap muridnya dan dapat melihat segala sesuatu yang tidak atau belum terlihat oleh orang lain. Mengambil teladan Yesus, Ia membatasi memilih 12 orang murid saja, sebab kuncinya adalah memiliki hubungan dan waktu yang berkualitas.

Di dalam mentoring harus terjadi persekutuan yang intim antara sang mentor dengan mentori (orang yang dimentor). Rahasia sukses proses mentoring adalah datang sebagai manusia, jangan menjadi “superman rohani”. Tuhan Yesus sendiri memberikan contoh dalam Filipi 2:1-11,” Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!  
Rasul Paulus juga menyatakan dalam 1 Korintus 9:20,” Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat.”
Hubungan bukan sebagai guru dan murid tetapi sebagai keluarga, 1 Timotius 5:1-2,” Janganlah engkau keras terhadap orang yang tua, melainkan tegorlah dia sebagai bapa. Tegorlah orang-orang muda sebagai saudaramu, perempuan-perempuan tua sebagai ibu dan perempuan-perempuan muda sebagai adikmu dengan penuh kemurnian.”
Dalam proses mentoring kita sendiri sebagai mentor harus tetap belajar dan membayar harga, 1 Timotius 4:12-16,” Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu. Sementara itu, sampai aku datang bertekunlah dalam membaca Kitab-kitab Suci, dalam membangun dan dalam mengajar. Jangan lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu, yang telah diberikan kepadamu oleh nubuat dan dengan penumpangan tangan sidang penatua. Perhatikanlah semuanya itu, hiduplah di dalamnya supaya kemajuanmu nyata kepada semua orang. Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau.”

SEORANG AYAH MENINGGALKAN WARISAN BERHARGA


2 Samuel 18:18, “Sewaktu hidupnya Absalom telah mendirikan bagi dirinya sendiri tugu yang sekarang ada di Lembah Raja, sebab katanya: “Aku tidak ada anak laki-laki untuk melanjutkan ingatan kepada namaku.” Dan ia telah menamai tugu itu menurut namanya sendiri; sebab itu sampai hari ini tugu itu dinamai orang: tugu peringatan Absalom.”
Sebagaimana kita tahu Absalom memiliki akhir kehidupan yang tragis, ia tidak memiliki pewaris tahta. Hingga ia berinisiatif untuk mendirikan sebuah monumen bagi dirinya sendiri. 

Kita bukan saja telah ditebus dari kematian tetapi juga ditebus dari kehidupan sia-sia yang tidak memiliki tujuan.
Dalam Mazmur 127:3 Tuhan berfirman,” Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah.” Ini juga harus menjadi kerinduan dalam hati kita untuk “melahirkan” anak-anak rohani.

Mengapa kita perlu meninggalkan warisan bagi anak-anak rohani kita? Sebab Tuhan Yesus memberikan teladan tersebut, Ia mewariskan 4 hal:

  1. Kehidupan
    • Tuhan Yesus kini berada di surga, tetapi kehidupanNya ada pada kita sebab telah Ia wariskan.
    • Tidak ada yang dapat mengambil kehidupan Yesus dari dalam diri kita.
    • Tuhan Yesus mewariskan kepada kita kehidupan yang tanpa cacat cela.

  1. Pelayanan
    • Tuhan Yesus mewariskan pelayananNya pada kita.

  1. Pesan
    • Berita Injil, Kabar Baik rekonsiliasi hubungan antara kita dengan Tuhan.
    • Tuhan Yesus mewariskan Amanat Agung.
    • Teladan kehidupan Tuhan Yesus merupakan berita itu sendiri.

  1. Kuasa dan Urapan
    • Pengenalan akan Allah
    • Memiliki kerinduan untuk berada dimana Tuhan berada.
    • Berjalan dan bergerak bersama Tuhan senantiasa.
    • Mewarisi kuasa dan urapan Kristus.
    • Tuhan mau kita mewariskan urapan dan kuasaNya pada anak-anak rohani kita.

Selain itu warisan yang dapat kita tinggalkan adalah nama baik. Nama baik berbicara mengenai karakter, tentang pekerjaan orang tersebut, tentang tanggungjawabnya, kita harus menjaga nama naik Bapa di sorga dan tentunya nama baik kita sendiri untuk diwariskan pada anak-anak.
Kita juga dapat mewariskan teladan kuasa dan pengenalan akan Tuhan. Kita semua bertanggungjawab untuk memindahkan tongkat estafet kebenaran kepada generasi berikutnya.
DNA atau kode genetika kita pun dapat diwariskan. Kita meninggalkan standar teladan mengenai bagaimana mngerjakan sesuatu. Teladan kita adalah kehambaan dan nilai-nilai pembapaan.

Kita semua mutlak harus mengalami lima tingkatan kehidupan:

  1. Berpindah dari ketidakbenaran kepada kebenaran.
  2. Berpindah dari kebenaran kepada tujuan hidup.(visi misi dalam kehidupan dapat memperbesar kapasitas hidup kita)
  3. Berpindah dari tujuan hidup kepada kesuksesan.(sukses bukan tujuan tetapi perjalanan)
  4. Berpindah dari kesuksesan kepada signifikan.(signifikan berarti kehidupan yang memberi arti bagi orang lain)
  5. Berpindah dari signifikan kepada suksesi. (melahirkan penerus atau ahli waris)

Dalam bukunya Warisan Abadi, Steven J Lawson (terbitan Metanoia) mengisahkan bahwa beberapa tahun lalu ada sebuah tim sosiolog di negara bagian New York yang berupaya menyelidiki pengaruh yang ditimbulkan oleh kehidupan seorang ayah terhadap anak-anaknya maupun generasi penerusnya. Dalam kajian itu menreka menyelidiki riwayat dua orang pria yang hidup dalam kurun waktu yang sama di abad ke 18. Satu orang bernama Max Jukes yang merupakan seorang tak beriman dan berprinsip sedang seorang lagi adalah Jonathan Edwards yang dikenal sebagai gembala dan sarjana yang terpandang.
Inilah gambaran perbedaannya, keturunan Max Jukes:
-          440 hidup berpesta pora.
-          310 menjadi gelandangan dan peminta-minta
-          190 menjadi pelacur
-          130 menjadi narapidana
-          100 menjadi pecandu alkohol
-          60 orang suka mencuri
-          55 orang menjadi korban pelecehan seksual
-          7 orang menjadi pembunuh
Keluarga ini terkenal akan keburukannya dan telah merugikan negara bagian New York secara kolektif sebesar $ 1.200.000.

Bandingkan dengan keturunan Jonathan Edwards:
-          300 menjadi pendeta, misionaris atau dosen di bidang theologia.
-          120 orang menjadi profesor di bidang akademis
-          110 menjadi pengacara
-          Lebih dari 60 orang menjadi dokter
-          Lebih dari 60 orang menjadi pengarang buku bermutu
-          30 orang menjadi hakim
-          14 orang menjadi rektor universitas
-          Banyak yang menjadi pemilik usaha atau pabrik
-          3 orang menjadi anggota kongres Amerika Serikat
-          1 orang menjadi wakil presiden Amerika Serikat

Bentuk warisan seperti apa yang hendak Anda tinggalkan bagi keturunan Anda?  

Doa dan harapan saya adalah setiap kita maupun generasi selanjutnya dapat terus bertumbuh makin segambar dengan Kristus dan kerajaan Allah makin berkembang dan berdampak.


Mengapa kepenatuaan (kepemimpinan jamak)?

Selama beberapa tahun terakhir ini banyak sekali kabar menyedihkan tersiar, bagaimana “raksasa-raksasa rohani” yang terkenal memiliki pelayanan internasional jatuh dalam dosa. Sebagian bertobat dan bangkit kembali tetapi banyak juga yang lalu hilang dari peredaran. Mengapa hal ini dapat terjadi?

Saat saya tengah merintis sebuah “gereja”, mentor lapangan  saya, Inban Caldwel, memberikan sebuah peringatan bahwa banyak orang menginginkan jabatan pemimpin namun tidak menyadari akan tanggungjawabnya. Belum lagi menjadi seorang pemimpin harus tahan banting menghadapi terpaan badai masalah. Seorang pemimpin seringkali kesepian dan tidak memiliki sahabat untuk berbagi. Bila ia sembarangan terbuka, bisa-bisa ia “diserang”. Maka akibatnya banyak pemimpin menjaga “image”nya. Sampai pada satu ekstrim dimana pemimpin menjaga jarak dan kehidupan pribadi-nya dari jemaat yang dia pimpin.

Banyak sekali hamba Tuhan jatuh sebab ia tanpa sadar menjadi “the lone ranger” (mencoba menjadi pahlawan seorang diri). Kakak rohani saya, Cornelius Wing mengajarkan bahwa saya harus memiliki tiga komunitas dalam kehidupan.
Yang pertama komunitas murid, berbicara mengenai orang-orang yang kita muridkan dimana kita menjadi “ayah rohani” dan teladan bagi mereka.
Komunitas kedua berbicara mengenai komunitas rekan sekerja, teman jejaring dimana kita dapat saling berbagi satu dengan yang lain sebagai saudara dan tidak perlu “jaim” (menjaga image). Kita bisa saling mempercayai, mengasihi dan melindungi.
Komunitas ketiga adalah komunitas orangtua rohani, dimana kita terbuka apa adanya hingga bahkan menceritakan pergumulan hidup atau apa pun. Dimana mereka memberikan nasehat bahkan menegur dalam kasih bila kita melakukan kesalahan.
Dengan memiliki tiga komunitas ini, maka kehidupan rohani kita akan lebih mudah bertumbuh dan beresiko untuk jatuh dapat diminimalisir.

Tuhan mengetahui bahwa kita rentan jatuh dalam dosa bahkan sebagai seorang pemimpin rohani. Mengapa kepemimpinan dalam Alkitab itu jamak? Saya percaya karena alasan tersebut di atas. Kita rentan akan dosa dan kejatuhan sebab itu diperlukan pemimpin lain untuk dapat saling menjaga dalam kasih. Ketika saudara kita jatuh, segera ulurkan tangan untuk mengangkat dan bukannya malah menginjak-injak sebagaimana yang sering terjadi.

Sebagai contoh saat seorang tokoh muda Kristen yang saya kagumi, Roberts Liardon, jatuh dalam dosa beberapa tahun lalu. Saya digerakkan Tuhan mendoakannya dan mengirimkan sebuah email untuk mendukung dia agar segera bangkit kembali. Meski secara pribadi saya tidak mengenalnya tetapi karya-karyanya sangat memberkati hidup saya. Puji Tuhan, kini ia sudah kembali melayani dan pulih dari dosa yang dahulunya pernah membelenggu dia.  Kita harus berhenti menggosipkan anak Tuhan lainnya dan mulai mendoakan bila memang ada masalah. Kita turun tangan untuk menolong mereka yang jatuh sebab itulah yang Tuhan mau.

Dalam Kisah Para Rasul dan surat-surat yang ditulis oleh Paulus, Petrus,Yakobus, Yudas dan Yohanes dalam Perjanjian Baru dikatakan bahwa penatua (atau tua-tua jemaat) merupakan para pemimpin yang bertanggungjawab atas kehidupan jemaat. Tugas mereka adalah menggembalakan kawanan domba Allah, dan sebagai teladan bagi kawanan domba itu sebab mereka ini bertanggungjawab kepada Gembala Agung (1 Petrus 5:1-4)

Setiap penatua memiliki keunikan dari segi jawatan maupun karunia hingga bila disinergikan akan menjadi sebuah dampak yang besar bukan saja dalam tubuh Kristus tetapi juga dunia. Hal ini akan dibahas dalam bab selanjutnya.

Mengapa kita tidak menganut kependetaan? Pertama kata pendeta itu sendiri tidak ada di dalam Alkitab. Kalau mau jujur kata pendeta diadaptasi dari “kitab suci” di luar kekristenan.  Kemungkinan besar penggunaan kata pendeta pertama kali digunakan oleh orang Kristen Protestan akibat kata pastor (gembala) sudah digunakan gereja Katolik. Sebagaimana kita tahu dahulu kedua kubu berseteru dengan hebat hingga diperlukan nama jabatan untuk membedakan ke dua golongan.
Masa kini kata “gembala” (pendeta) sudah dianggap jabatan gereja bahkan banyak orang yang ingin memiliki jabatan tersebut.

Efesus 4:11-12,” Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus.”

Jelas ayat di atas berbicara mengenai hal karunia atau jawatan bukan jabatan atau gelar kedudukan. Kita harus mengerti bahwa tidak semua penatua memiliki jawatan (karunia) gembala, namun ada pula yang memiliki karunia mengajar, memimpin (visioner) (Roma 12:8), atau memimpin (administrasi) (1 Korintus 12:28) dan sebagainya. Tugas penatua adalah menggembalakan secara kolektif kawanan domba Allah (1 Petrus 5:1-4).

IMPLEMENTASI KEPENATUAAN ALKITAB

Ketekunan dalan doa. Lukas 11:5-13 dan 18:1-8 menunjukkan pentingnya bertekun di dalam doa kepada Tuhan. Kita harus ingat bahwa perubahan tidak terjadi seketika itu tetapi memakan waktu. Jangan pernah meremehkan kekuatan ketekunan di dalam doa. John Wesley seorang yang bukan saja pengkhotbah besar tetapi juga pendoa yang luar biasa menyampaikan puisi yang indah ini:

SEBUAH HATI UNTUK MEMUJI ALLAHKU
SEBUAH HATI YANG TAK BERDOSA
SEBUAH HATI YANG SELALU HIDUP
YANG MENJADI NAUNGAN BAGIKU
SEBUAH HATI YANG BERSERAH, TAAT, LEMAH LEMBUT
TAHTA PENEBUSKU YANG BESAR
DI MANA HANYA KRISTUS YANG BERKATA-KATA
DI MANA YESUS SENDIRI YANG MEMERINTAH

Doa harus terlahir dari hubungan yang intim secara pribadi dengan Tuhan, melalui doa pulalah kita diubahkan olehNya. Kita tidak dapat merubah seorang pun kecuali kita diubahkan oleh Tuhan terlebih dahulu. Kita harus mempersembahkan hati kita setiap saat padaNya, mengizinkan “hanya” Tuhan saja yang bertahta atasnya.

Haus akan kebenaran. Lukas menceritakan dalam kitab Kisah Para Rasul bagaimana gaya hidup orang percaya di Berea. Mereka suka menyelidiki firman Tuhan. Penatua harus menjadi teladan pribadi yang haus dan lapar akan kebenaran. Firman Tuhan seharusnya memerdekakan dan mengubah kehidupan pribadi kita terlebih dahulu, jangan mengharapkan orang lain berubah sebelum kita sendiri berubah. Kita pun harus mengetahui kebenaran firman Tuhan hingga kita dapat memberikan jawaban yang sesuai dengan kebenaran.

Kerendahan hati. Tuhan Yesus memberikan teladan ini ketika Ia datang ke dunia dan mengosongkan diriNya agar dapat berinkarnasi sebagai Anak Manusia dalam misi penebusan dosa. Ia juga memberikan teladan dengan membasuh kaki murid-muridNya menunjukkan sifat kehambaan. Siapa kita bila masih sombong dan merasa diri harus selalu dihormati orang lain? Kerendahan hati kita hanya dapat dinilai oleh orang yang ada disekitar kita.

Pemuridan (melahirkan pemimpin baru). Tuhan memberikan amanat agung pada kita semua untuk melahirkan murid-murid bagiNya.

Mobilisasi umat Tuhan terlibat pekerjaanNya. Tidak ada kumpulan penonton dalam keluarga Allah. Tuhan menghendaki penatua memperlengkapi jemaat untuk terlibat pekerjaanNya. Ingat bahwa pelayanan pekerjaan Tuhan bukanlah monopoli “kalangan elit rohani”.




















Tidak ada komentar: