Minggu, 20 Desember 2015

Be The Church




“Sebuah perjalanan rohani mencari esensi gereja yang sebenarnya”   


Pada tahun 1996 terjadi peristiwa berantai dimana gereja-gereja Indonesia mengalami aniaya di beberapa kota di Pulau Jawa. Gedung-gedung ibadah diserang dan dibakar, salah satu kisah yang mengharukan terjadi di Situbondo dimana keluarga pelayan Tuhan pun tewas sebagai martir dalam kerusuhan tersebut. Di belahan Pulau Jawa yang lain, saat itu saya tengah melayani di sebuah denominasi gereja yang berada di Jawa Barat. Kala itu gedung ibadah tempat kami melayani juga diserang dan dibakar oleh massa. Sangat menakutkan kondisi tersebut, melihat bangunan yang megah dan segala fasilitas yang ada lenyap seketika itu juga. Saat itu saya sendiri tengah melayani di kota lain sedang seorang rekan saya yang berada di lokasi berhasil meloloskan diri dari penyerangan tersebut. Puji Tuhan.
Ketika tiba hari Minggu beberapa hari setelah penyerangan dan pembakaran itu, jemaat menelpon kami dan menanyakan apakah tetap ada ibadah. Dan kami menjawab ibadah tetap ada, mereka pun menanyakan dimana dan bagaimana? Mereka bingung bagaimana kita akan beribadah sebab gedung ibadah hancur dilalap si jago merah, perlengkapan musik dan sound system rusak dan tidak ada bangku.
Peristiwa itu mulai mengganggu pikiran saya, sebegitu mudahnyakah gereja dihentikan dan ditutup? Apakah ini hanya satu-satunya cara kita beribadah pada Tuhan kita?

Beberapa tahun kemudian pada akhir 90-an saat itu kami tengah merintis sebuah jemaat di kota Pahlawan – Surabaya, “orangtua rohani” kami Pr Christopher dan Vijaya Khrisnasamy dari pelayanan Zoe Ministries Penang – Malaysia datang mengunjungi keluarga kami. Kala itu kami tinggal di daerah Kedondong yang sangat padat penduduk, beliau mentaati suara Tuhan untuk datang ke Indonesia dan “menguatkan” kami. Saat kami dalam kondisi tidak punya apa-apa, beliau datang mengunjungi kami.
Beliau datang sebagai ayah yang menerima keberadaan kami sebagai pelayan Tuhan bagi kaum terbuang dan tersisih. Sedikit flashback mengingat pertemuan pertama kami. Saya sangat diberkati melalui pelayanan beliau sejak 1995, kala bertemu beliau di Discipleship Training School – YWAM Jakarta. Kami merasakan “pribadi Bapa surgawi” yang terefleksi melalui kehidupan keluarga mereka. Bukan hanya dari sisi pengajaran tetapi juga kehidupan mereka yang “berbeda”, mereka menjadi diri mereka sendiri di dalam Tuhan dan “tidak berupaya” nampak sebagai “pendeta” yang suci.
Gereja yang kami rintis memang berkembang tetapi jemaat kami mayoritas bukanlah orang kaya dan terpelajar. Mayoritas merupakan orang-orang yang selama ini tersisihkan dan dipandang sebelah mata. Ada kalanya kami ingin menyerah saat itu sebab kami tidak memiliki fasilitas apa-apa. Kami beribadah dari rumah ke rumah dan tak punya gedung atau sekretariat. Pelayanan berkembang dari hanya segelintir orang sampai lalu mencapai ratusan orang. Meski kami miskin tetapi kesatuan, kebersamaan dan “api” itu ada dalam diri kami masing-masing.

Kala kebingungan melanda diri kami, Tuhan mengutus anakNya dari Malaysia untuk menguatkan kami. Beliau menyampaikan sebuah nubuatan bagaimana Tuhan memakai pelayanan kami untuk memulihkan dan mengubahkan banyak jiwa sebagaimana Daud bersama pengikutnya di gua Adulam, segerombolan pecundang yang berubah menjadi sekumpulan pahlawan Daud. Bagaimana Tuhan menghendaki kami untuk menanam gereja dengan pola yang ada di dalam Perjanjian Baru seperti jemaat mula-mula di dalam kitab Kisah Para Rasul.
Beliau bercerita bagaimana ketika Idi Amien berkuasa di Uganda, ia menangkapi dan membunuh para pendeta dan orang Kristen dilarang bertemu untuk beribadah. Ada dua kepala keluarga yang setiap hari bertemu di sebuah pabrik tempat  mereka bekerja. Tetapi mereka dilarang bahkan untuk berbicara mengenai Tuhan di tempat bekerja. Setiap sore ketika mereka pulang dan mengambil sepeda di tempat parkir, maka mereka berjalan berdampingan, lalu saling menanyakan keadaan masing-masing. Dalam perjalanan keluar tempat kerja, mereka saling mendoakan atau saling membagikan hasil saat teduh atau renungan pagi untuk saling menguatkan iman. Akhirnya mereka berpisah di ujung jalan kantor hingga keesokan harinya kembali.
Lalu beliau berkata pada saya,”Dave, itulah gereja.” Duueeer!!!!!! Saya sangat terkejut dengan pernyataan beliau. “Apakah itu bisa disebut gereja?” Beliau memberikan kutipan ayat di dalam Matius 18:20, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”Paradigma mengenai gereja yang selama ini ada dalam benak saya terguncang.

Lain lagi ketika Tuhan mempertemukan saya dengan Inban Caldwell berdiskusi dengan saya (Inban dan Rozanne Caldwell merupakan “mentor rohani” kami yang lain – saya pertama kali bertemu beliau saat melayani sebagai staf DTS dari Youth With A Mission Lawang), beliau menanamkan nilai kepemimpinan, ketegasan, keberanian dan kesungguhan untuk mencapai visi Tuhan. Dimana ketika itu ia mengajak saya memikirkan bagaimana caranya agar jemaat yang ada memiliki rasa takut akan Tuhan. Ia mengajarkan pada saya bahwa rasa takut akan Tuhan harus dimulai di rumah tangga. Ujian kita sebagai orang Kristen adalah di rumah, meskipun kita pandai berkhotbah dan mengajar Alkitab bahkan punya pelayanan internasional sekalipun tetapi orang di dalam rumah dapat tahu dengan pasti apakah kita orang Kristen yang melakukan firman Tuhan atau hanya seorang munafik yang pandai berbicara. Singkatnya praktek gereja harus dimulai di rumah.
 
Hal lain lagi yang ia tanamkan pada saya adalah bahwa setiap hari adalah kudus. Tidak ada sebuah hari yang lebih sakral dari yang lain. Semua hari sama hingga kita harus hidup dalam takut akan Tuhan setiap hari bahkan setiap saat tentunya. Bukan hanya pada hari Minggu, itupun tampak suci saat di dalam gedung ibadah saja.
Beliau juga menanamkan betapa pentingnya visi atau tujuan bagi umat Tuhan sebab bila tidak jemaat akan hidup tanpa tujuan yang jelas.

Dari teladan kehidupan kedua keluarga ini saya banyak belajar dan akhirnya mengajar arti servant leadership (kepemimpinan kehambaan) dan fathering leadership (kepemimpinan pembapaan). Menjadi “ayah rohani” bukan sekedar mendapat panggilan “papa atau papi” dari murid kita tetapi lebih pada fungsi. Benar-benar menjadi ayah kala suka maupun duka. Gereja sebagai keluarga Allah yang sesungguhnya dan bukan sekedar “lips service”.

Sejak saat itu benak saya dipenuhi pertanyaan dan rasa ingin tahu yang besar untuk menyelidiki apakah itu gereja, apa rencana Tuhan tentang gerejaNya, Seperti apakah gereja yang didirikan Tuhan Yesus? Apakah saya membangun gereja Tuhan atau gereja saya sendiri? Apakah gereja saat ini alkitabiah atau tidak? Kepemimpinan seperti apa yang Tuhan kehendaki, kependetaan atau kepenatuaan dan mengapa? Apakah Tuhan menghendaki orang percaya sebagai pengikut atau muridNya? Bila saya menemukan kebenaranNya beranikah saya untuk melangkah berhadapan dengan tradisi gereja yang sudah terbangun selama berabad-abad?

BERSAMBUNG KE PART 2.......

Tidak ada komentar: