Rabu, 23 Desember 2015

Be The Church part 3



THE QUEST

(KERESAHAN YANG MENGAWALI PERJALANAN PENCARIAN)


Suatu kali saya berbincang dengan seorang rekan pelayan Tuhan dan penanam gereja senior dari negeri Paman Sam, Clifford H James, penulis buku The BluePrint. Di tengah perbincangan itu ia menanyakan satu hal pada saya,”Dave menurutmu saat Tuhan datang kembali dan mengangkat gerejaNya, siapakah yang akan Ia angkat, kita atau gedungnya?”

Saya menjawab tentunya,”Tentu kita sebagai gerejaNya dan bukan gedung gereja.”

Cliff kemudian bertanya lagi,”Kalau begitu kita harus fokus membangun gedung ibadah atau umat Tuhan?”

“Umat Tuhan tentunya!” jawab saya mantap.

Tetapi setelah saya memberikan jawaban tersebut, saya merasa tertempelak. 

Sebab selama menggembalakan, urusan mengontrak gedung ibadah dan kantor gereja menjadi beban tersendiri. Keuangan dari persembahan jemaat larinya pada pemeliharaan gedung, administrasi kantor, membayar semua tagihan, membayar gaji full-timer dan persembahan kasih bagi part-timer, dstnya. Hanya tertinggal dana sedikit untuk diakonia atau membantu anggota jemaat yang berkesusahan malah sering pula kas defisit hingga tak dapat membantu jemaat yang tengah dalam kemalangan. Saat itu saya hanya dapat berkata,”Maaf, saat ini kas gereja sedang defisit dan kami hanya dapat membantu di dalam doa.” Sungguh ironis dan ini merupakan jawaban klasik.



Hingga akhirnya gereja yang kami rintis bersinergi dengan sebuah gereja dari negeri tetangga. Kesulitan finansial kini mulai dapat diatasi tetapi pergerakan arah gereja mulai dikendalikan oleh pihak donatur. Kenaturalan dan kekeluargaan yang selama ini ditekankan berubah total. Sebab pihak donatur menghendaki kami mencapai target jiwa baru yang harus dimenangkan tiap bulannya, mereka meminta bukti dengan adanya jumlah baptisan baru, pos PI baru, lebih banyak jemaat yang mau diutus menjangkau suku terabaikan dan lahirnya pemimpin-pemimpin baru. Semuanya itu baik dan melecut kami untuk bekerja keras bagi pekerjaan Tuhan. Tetapi pada akhirnya kami merasa keletihan dan stress bila target tidak tercapai. Saya pun sebagai gembala sidang saat itu ikut merasa tertekan sebab itu berarti saya harus memberhentikan staf gereja yang “kurang produktif” menghasilkan jiwa dan merekrut staf baru. Biasanya saya kehilangan staf tersebut, ia merasa terluka dan tidak mau ada bersama kami lagi. Sebagai “ayah rohani” tidak tega tetapi tuntutan donatur seperti itu, dan saya juga tidak dapat berbuat apa-apa sebab mereka yang menggaji staf gereja termasuk saya. Meskipun saya berusaha menguatkan mereka untuk tetap setia melayani Tuhan, kebanyakan pindah dan melayani di tempat lain atau memilih jalur pekerjaan sekuler atau hanya menjadi ibu rumahtangga.




Secara berkala tim-tim misi jangka pendek dari jejaring gereja asing tersebut (pihak donatur) itu datang, mereka melihat hasil yang kami kerjakan. Seringkali pujian datang ketika mereka melihat hasil pelayanan gereja kami, 60% jiwa yang menjadi anggota jemaat kami saat itu berasal dari “kepercayaan lain”. Tetapi sebenarnya kami “tengah hancur” (burn out) secara kerohanian. Kami mengalami keletihan demi mencapai target yang telah ditetapkan oleh pihak donatur. Tanpa sadar prioritas hidup kami berubah, prioritas pertama dan utama bukan lagi melayani Tuhan tetapi “pekerjaan Tuhan”. Pekerjaan Tuhan menjadi ilah atau berhala baru dalam kehidupan kami. Saat kami kehilangan hubungan dengan Tuhan, keangkuhan masuk dan merasa bila pelayanan dapat berkembang maju itu karena “saya” hingga akhirnya Iblis yang mengadu domba kami. Perpecahan timbul sebab relasi dengan Kristus terputus, dan ego mulai muncul.

Ketika orang-orang melihat pihak asing datang dan membantu kami baik secara finansial maupun tenaga. Banyak orang berdatangan dan mengajukan diri untuk terlibat pelayanan bersama kami untuk alasan yang salah.
Ketulusan keluarga kami dalam pelayanan pun dicemari oknum-oknum yang mau mengkudeta diri saya dari posisi kepemimpinan. Belum kisruh diantara staf yang mulai saling meninggikan diri, membanggakan gelar pendidikan, jabatan dan karakternya berubah setelah ditahbiskan menjadi pendeta oleh sinode gereja.
Entah sudah berapa kali saya menghadapi kasus pencemaran nama baik, penggelapan uang gereja oleh staf, penyalahgunaan wewenang dan masih banyak hal lagi.




Gereja yang tadinya hangat, penuh atmosfir kekeluargaan, kasih sayang dan kepedulian satu dengan yang lainnya berubah 180 derajat. Ada apa ini? Apa yang tengah terjadi di tengah kami? Mengapa orang yang tadinya baik menjadi buruk kembali sikapnya?

Wah, hal-hal ini tidak pernah diajarkan baik di Sekolah Alkitab maupun Theologia. Tidak ada satu pun orang yang pernah menceritakan hal ini dapat terjadi dalam gereja Tuhan.

Tuhan Yesus berfirman dalam Matius 11:29-30, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan."
Lalu mengapa kuk (beban) yang ada di pundak saya rasanya begitu berat dan sama sekali tidak enak? Jangan-jangan saya tengah memikul kuk yang lain dan bukan kuk yang datang dari Tuhan Yesus.

Sejak hari itu, saya memulai sebuah perjalanan pencarian akan makna gereja yang sebenarnya. 


HATI SAYA RESAH KALA MELIHAT........

 

Para Pelayan Tuhan

Para hamba Tuhan berebutan mencari pengakuan melalui buah pelayanan (terutama dari atas mimbar). Banyak sekali orang yang mengukur keberhasilannya dari bagaimana tanggapan jemaat atas khotbah atau pengajarannya, apakah mendapatkan pujian atau tidak? Bagaimana respon jemaat atas khotbah tersebut melalui berapa banyak yang menanggapi “altar call”, berapa banyak yang hadir saat kita berkhotbah, berapa banyak yang “dilawat atau dijamah” Tuhan (entah menangis atau rebah) dan lalu membandingkannya dengan kolega kita.

Memiliki gelar pendidikan itu baik-baik saja, tetapi bila hal tersebut menjadi berhala sangatlah membahayakan. Beberapa rekan mengikuti pendidikan setinggi-tingginya dengan tujuan mempertajam dan mengenal Tuhan dengan lebih baik, itu sangat baik. Tetapi ada pula yang hanya sekedar mengejar gelar pendidikan agar memiliki jabatan yang lebih baik. Bahkan ada pula yang rela  membeli “gelar” dari Sekolah Tinggi Theologia tertentu yang menjual gelar kesarjanaan tanpa perlu mengikuti pendidikan itu sendiri atau membeli gelar “Doctor Honorer Causa” dengan harga tertentu. Saya sendiri pun pernah paling tidak tiga kali ditawari untuk mendapatkan gelar bahkan lebih mengejutkan lagi saat orang yang menawarkan gelar tersebut mengatakan bila saya bisa mendapatkan lima pendeta yang mau membeli gelar maka saya dapat gelar gratis. “Ya, ampun…sangat menyedihkan.”

Saat ukuran besar gedung ibadah, jumlah anggota gereja, jumlah persembahan dan perpuluhan menjadi salah satu patok ukuran keberhasilan seorang gembala sidang. “Gereja” yang sudah memiliki IMB, jumlah jemaatnya sudah lebih dari 1000 dan memiliki persembahan-perpuluhan mencapai ratusan juta perbulan bahkan miliar sebagai tanda gereja yang disertai dan diberkati Tuhan sedang gereja yang tidak punya tempat ibadah, anggotanya sedikit dan persembahannya sedikit seolah hidup di bawah kutuk dan harus belajar pada “big brothers” bagaimana dapat menjadi sukses seperti mereka.

Ada banyak pelayan Tuhan ditahbiskan karena memang memiliki panggilan tertentu dalam kehidupannya tetapi ada juga yang menghendaki jabatan gereja sebagai suatu kebanggaan pribadi dan ingin memiliki kuasa atas orang lain. Ada juga yang rendah diri dan beranggapan bahwa dengan memiliki gelar kependetaan, ia menjadi “seseorang”. Ia merasa di dunia sekuler bukan siapa-siapa, jadi ia coba menjadi “seseorang” di dunia rohani. .......”pride” alias kesombongan rohani.

Ada pula orang melayani di gereja sebab sulit dapat pekerjaan sekuler hingga mereka melihat kependetaan sebagai “another job opportunity” (lahan pekerjaan alternatif). Ada lagi yang lebih parah sebab melihat gereja sebagai “perusahaan rohani” yang bebas pajak. Banyak pengusaha beralih profesi menjadi pendeta akibat alasan tersebut (tidak semua pengusaha yang jadi pendeta tetapi ada oknum-oknum tertentu yang seperti itu). Orang melayani karena berapa besar upah yg didapatkan. Ada beberapa orang percaya yang meninggalkan pekerjaan sebelumnya dan menjadi pendeta karena tergiur melihat kehidupan beberapa “pendeta selebritis” yang memiliki pendapatan tinggi, hidup dalam kemewahan dan memiliki pengikut yang banyak.

Para pelayan Tuhan berebutan ingin menjadi “pemimpin” karena ambisi pribadi dan memiliki pengaruh pada pengikutnya, menimbulkan perpecahan, menimbulkan politik dan partai-partai” dalam gereja. Banyak mega church (gereja berjumlah sangat besar), pecah akibat adanya “pembelotan” atau “pemberontakan” terhadap kebijakan “senior pastor” (gembala sidang).

Para pelayan Tuhan mengkorupsi uang gereja atau pelayanan. Baru-baru ini Dinas Pajak di Amerika Serikat memeriksa beberapa pelayan Tuhan terkenal di negeri tersebut sebab menggunakan uang pelayanan untuk kepentingan pribadi dengan membeli rumah mewah, lukisan mahal, perabotan rumah tangga berharga selangit dan lain-lainnya. Uang yang disumbangkan untuk memperlebar Kerajaan Tuhan ternyata dipergunakan untuk memperkaya diri dan memperluas properti pribadi.

Ada pula pelayan Tuhan yang tidak peduli sama sekali terhadap kesulitan rekan pelayan Tuhan lainnya. Bukan membantu saudaranya yang lemah, mereka menyatakan bahwa rekan pelayan Tuhan tersebut hidup dalam dosa dan kutuk. Ada sebuah kesaksian yang saya sendiri saksikan dan alami.
Suatu kali saya melayani beberapa orang pendeta dari daerah yang baru saja mengikuti Kongres Sinode dan lalu kehabisan dana untuk kembali ke pulau dari mana mereka berasal. Letak gereja kami berdekatan dengan pelabuhan Tanjung Perak Surabaya hingga banyak pendeta dari denominasi dimana saya melayani saat itu, biasanya mampir untuk menginap di pastori gereja yang sederhana untuk menantikan keberangkatan kapal ke daerah asal mereka. Karena mereka kehabisan dana, mereka meminta saya untuk mengantarkan mereka ke salah satu gereja besar dari denominasi yang sama untuk meminta bantuan.
Sesampai disana saya membawa mereka bertemu dengan gembala sidang setempat tetapi beliau tidak mau diganggu dan meminta saya untuk membawa rekan-rekan ini ke ruang diakonia. Sesampai di ruangan tersebut, ketua diakonia memberikan “ceramah” bagaimana hidup diberkati, hidup dengan karunia iman dan terlepas dari kutuk kemiskinan selama hampir 45 menit….setelah itu ia menyampaikan bahwa kas gereja mereka pun sedang kosong sebab sudah banyak membantu jemaat….sambil ia memainkan cincin bermata berlian di jarinya (saat ia berbicara mata saya tertuju pada beberapa cincin emas dijarinya yang nampak “bling bling”).
Lalu ia meminta para pendeta desa ini untuk pergi ke ruang doa untuk berdoa pada Tuhan agar Ia membuka jalan dan memberikan dana untuk pembelian tiket kapal. Sementara itu saya masih tetap ada di ruang diakonia, sang pimpinan meminta salah satu stafnya untuk mencek harga tiket kapal kelas ekonomi menuju daerah tujuan para pendeta itu. Kulihat staf yang lain mengambil sejumlah uang yang segera dimasukkan ke dalam beberapa amplop terpisah. Ketua diakonia itu lalu berbicara pada saya,”Mas, kita perlu berhikmat bila hendak menolong orang lain, agar mereka tidak memiliki mentalitas peminta-minta. Nanti setiap ke Jawa mereka selalu mampir dan minta pada kita.” Saya hanya tersenyum saja mendengar perkataan beliau. 
Saya melihat rekan-rekan pendeta dari desa ini dengan polos dan tulus berdoa pada Tuhan, setelah kurang lebih dua jam berlalu....staf diakonia datang dan memanggil mereka. Mereka kembali ke ruang diakonia, disambut oleh ketua diakonia yang tersenyum lebar dan berkata,”Puji Tuhan, Ia baru saja buka jalan dan ini dana yang Anda sekalian perlukan untuk biaya pulang.” Mereka bersukacita sebab kini mereka dapat pulang, saya pun gembira, kini mereka dapat kembali bertemu keluarga dan jemaat  mereka. Tapi saya sedih sekali melihat skenario kejadian itu.

Di lain pihak ada pula yang hanya mempedulikan rekan-rekan sesama organisasi gerejanya, di luar organisasinya  bukan tubuh Kristus katanya..duh celaka sekali. Kadang tanpa sadar kita tercemar oleh nila-nilai sekuler, gereja diibaratkan perusahaan. Kondisi gereja kita saat ini dapat digambarkan seperti perusahaan, selama kita bagian dari sebuah “perusahaan besar” maka kita akan mendapatkan santunan dan bantuan tetapi bila kita dari “perusahaan lain” maka kita tak akan mendapat santunan apalagi bantuan. Bila perusahaan lain tersebut mau mendapatkan bantuan maka yang diperlukan adalah ia harus merger dengan perusahaan besar tersebut. Maka dapat dipastikan setelah merger perusahaan tersebut telah menjadi bagian dalam “perusahaan besar” maka akan dapat bantuan dan santunan yang dibutuhkan dan harapkan.

Belum lagi ada oknum yang hanya mau melayani di gereja dengan jumlah jemaat tertentu, bila kurang dari targetnya dia tidak mau melayani di sana, kecuali “persembahan kasih”nya besar. Suatu kali di masa awal pelayanan saya kala itu Bapak Gembala meminta saya untuk mengundang seorang pembicara tamu untuk mengisi jadwal khotbah. Setelah beberapa saat berbincang dengan pengkhotbah tersebut melalui pesawat telpon, beliau pun lalu bertanya berapa kali ibadah yang akan beliau isi dan jumlah jemaat gereja kami berapa orang. Setelah mendengar bahwa gereja kami mengadakan 4 kali ibadah hari Minggu dan jemaat ada sekitar 2500 orang totalnya maka beliau memberikan komentar,”Hmm…bagus…bagus, kalau begitu cocok dengan kriteria saya.” Saya saat itu sempat terheran dengan sikap senior saya tersebut. “Mau melayani kok tanya jumlah jemaat dan berapa kali ibadah mengisi khotbahnya.” Rupanya banyak juga pelayan Tuhan yang kalkulasi dapat berapa “persembahan kasihnya”.
Dalam kisah lain, seorang sahabat saya di Jakarta beberapa waktu lalu menjadi bagian dari suatu panitia yang mengundang seorang pengkhotbah dan penulis buku terkenal berskala internasional, yang biasa mengadakan acara KKR dan seminar besar-besaran. Acara yang digadang-gadang sebagai acara akbar itu sebenarnya berjalan dengan sukses namun tidak mendatangkan jumlah massa yang diharapkan oleh “sang pembicara” hingga beliau ini merasa kecewa terhadap kinerja panitia tersebut. Beliau meminta bila ada yang mengundang ke Indonesia, agar tim panitianya orang pilihan baru dan bukan kepanitiaan yang sebelumnya.

Oknum lain memberikan ketentuan bagi tiap orang yang mengundang harus memberikan DP terlebih dulu, bila batal maka DP pun hangus. Ketika saya bertanya pada senior saya mengapa, ia melakukan hal tersebut, ia menyatakan bahwa,” Kita sebagai pelayan Tuhan pun harus profesional dalam bekerja termasuk dalam masalah pembayaran fee….dulu setahu saya namanya persembahan kasih…sekarang jadi fee ya? Saya sampai heran dasar ayat yang digunakan untuk tindakan ini…ayat apa ya?

Ada pula yang meminta salah satu syarat bila mengundangnya harus ditempatkan di hotel terbaik di tempat tersebut dan tidak mau di rumah jemaat atau pastori, alasannya agar lebih tenang mempersiapkan firman Tuhan.

Ada pula pemimpin Kristiani dengan mentalitas suhu Shaolin yang tidak mau memuridkan jemaat karena takut bisa disaingi. Tuhan memberikan tugas pada kita untuk memuridkan bangsa-bangsa tetapi di sisi lain ada banyak pelayan Tuhan, yang takut jemaat menjadi lebih pintar dari dirinya dan tidak membutuhkan dirinya. Ada pelayan Tuhan yang senang bila jemaat bergantung pada dirinya dan bukannya bertumbuh dewasa dan bertumbuh dalam Tuhan. Bila pun ia mengajar, ia tidak mengajarkan semua yang ia ketahui. Persis suhu Shaolin yang memiliki 10 jurus maut, dan ia hanya mengajarkan 9 jurus saja agar muridnya tidak bisa mengalahkan dia bila memberontak terhadap “perguruan”.



HATI SAYA RESAH KALA MELIHAT........

 
Jemaat Tuhan

Orang-orang hanya suka mendengar khotbah tetapi tidak mau dimuridkan. Mereka memiliki pendeta favorit bila pendeta tersebut ada di kotanya atau negaranya, mereka ibarat “para groupies” (fans berat sebuah grup band/penyanyi tertentu). Kemana dan dimana pun ia berada akan dikejar dan menghadiri setiap pertemuan mereka. Mereka senang berdekatan dengan “pendeta favorit”nya, mendengarkan apa yang disampaikan, mereka dipuaskan secara intelejensi, sayangnya kebanyakan hanya sampai disitu. Mereka senang mendengar “hal-hal baru dari Tuhan” tetapi tidak mau melakukannya.

Orang-orang hanya melihat “pergi ke gereja” sebagai sebuah aktivitas keagamaan belaka. Bahkan memiliki “kepribadian ganda” kehidupan saat di dalam ruang ibadah nampak suci sekali dengan kosa kata yang tertata rapih dan mulia tetapi saat sudah keluar lingkungan “gereja”, sikap dan perbendaharaan katanya berubah menjadi “kebun binatang”. Ada guyonan kalau di dalam gereja dipimpin Roh Kudus, di luar gereja dipimpin “roh kuda”, tertib di lingkungan gereja tetapi di luar area menjadi liar.

Orang-orang taat “beragama” tetapi tidak memiliki hubungan intim dengan Tuhan. Hampir setiap hari muncul dalam ibadah atau program yang disusun oleh pihak gereja tetapi hanya sekedar aktif saja tanpa memiliki hubungan secara pribadi dengan Tuhan. Mereka berpikir dengan kesetiaan mengikuti ibadah dan aktif maka berkat dan janji Tuhan secara otomatis terjadi dalam hidupnya. Mereka tidak mau mentaati Tuhan dan egois, mereka mau mentaati firman Tuhan yang kira-kira mudah tetapi yang dirasakan berat mereka tidak mau melakukan atau mentaatinya. Tuhan hanya seolah sebagai agen asuransi “Escape from Hell” agar tidak “terbakar kekal di neraka” bagi mereka. Pokoknya sudah terima Tuhan Yesus pasti selamat, itu yang ada dalam benak mereka, dan mereka kembali ke dalam tabiat hidup mereka yang lama. Tuhan bukan Jinny on the bottle (jin dalam botol) yang harus menuruti setiap permintaan kita. IA juga bukan pesuruh atau satpam, saat kita berdoa agar IA menjaga aset usaha, rumah atau kendaraan kita.

Orang-orang kurang peduli terhadap sesama manusia, jangankan terhadap orang yang belum percaya, terhadap “saudara seiman”nya saja banyak sekali yang kurang peduli. Meski kita menyanyikan lagu indah bertema bahwa kita ini saudara seiman – keluarga  Allah sambil bergandengan tangan dan tersenyum pada orang di sebelah kita tetapi tanpa tindakan nyata hal itu hanyalah kepalsuan yang memuakkan di mata Tuhan. Kalau kita tidak peduli terhadap saudara seiman dalam komunitas atau “gereja” yang setiap Minggu kita bertemu, bagaimana kita dapat mempedulikan mereka yang belum mengenal Tuhan? Kita tidak menjadi terang dan garam, sebagaimana yang Tuhan kehendaki. Rata-rata jemaat kini hanya menjadi penonton dalam gereja, jika mereka merasa terusik dengan mudah mereka pindah….mungkin bosan dengan khotbah pendetanya yang itu-itu saja..atau jenuh sebab lagu pujiannya tidak mengikuti Top 40 The Best Worship Song (40 lagu terbaik terpopuler)…atau di gereja lain sedang ada aktivitas baru yang menarik.

Ada pula yang berpindah gereja bila ada bantuan diakonia yang jauh lebih menarik dari gerejanya yang terdahulu. Bahkan saya pernah menemukan ada anggota jemaat yang memiliki list jadwal pembagian sembako dari berbagai organisasi gereja dan persekutuan, ia tahu gereja mana yang memberikan beasiswa bagi orang kurang mampu, memberikan pekerjaan bagi menganggur, dstnya…ia menyatakan hidupnya tergantung pada “gereja Tuhan”, sebab itu ia “maha hadir” dalam tiap kegiatan gereja dan persekutuan yang dapat menguntungkan atau menghidupinya.

Bila gereja mengajarkan tentang misi dan pengutusan, tidak ada yang mau diutus. Bila pun ada, kebanyakan mau diutus ke kota besar atau negara-negara yang mapan. Itu yang sering saya saksikan setiap kali diadakan tantangan untuk menyerahkan hidup melayani mereka yang terhilang dan belum mengenal Tuhan. Jadi jangan bicarakan tentang suku terabaikan atau terpencil atau negara-negara di jendela 10/40 (negara-negara yang berlatarbelakang agama mayoritas non Kristen). Sepertinya kini tipis antara pengutusan misi dengan pergi wisata atau antara menjadi misionaris dan wisatawan saat ini. Ketika yang memberi diri untuk diutus memilih untuk pergi ke Los Angeles, Hollywood, Washington, Hawaii, Wina, Amsterdam, Berlin, Tokyo, Seoul, dan kota-kota metropolitan dunia lainnya.

Jemaat tidak mau berkorban, Tuhan Yesus berkorban bagi kita…..kita mengaku sebagai anakNya tetapi DNA-Nya tidak tampak. Bila kita anakNya maka secara natural kita juga rela berkorban bagi Dia. Jangan berkorban nyawa sebagai martir, harta benda atau uang saja kita masih hitung-hitungan dengan Tuhan. Bila pun berkorban itu dengan “motivasi investasi”, berharap Tuhan melipatgandakan apa yang telah ia berikan bagi pekerjaan Tuhan. Bila yang diharapkan tidak terwujud maka mereka akan segera mengeluarkan data berapa banyak yang telah mereka investasikan dalam Kerajaan Allah.

Jemaat kompromi dengan dosa, mereka lebih suka menjadi penonton dan pendengar firman Tuhan tetapi enggan menjadi pelaku kebenaran. Mereka lebih suka menjadi orang Kristen cek-list. Apakah Kristen cek-list? Kristen cek-list adalah mereka yang mengukur kekristenannya dari keaktifannya menghadiri ibadah hari Minggu dan aktivitas program gereja lainnya, pemberian persembahan & perpuluhan, doa “agamawi” setiap pagi disertai pembacaan Alkitab dan bilamana hal itu sudah dikerjakan maka mereka sudah merasa menjadi seorang Kristen yang saleh dan taat. Mereka mengaku,”I’m a good Christian”. (Saya seorang Kristen yang baik).

Jemaat tidak mau menjadi murid Kristus dengan memikul salib setiap hari, bila dalam tingkatan ini saja mereka enggan apalagi untuk memikul tanggungjawab memuridkan orang lain? Ini salah siapa?


Sedih hati saya melihat ini semua terjadi dalam gereja Tuhan yang mayoritas suam-suam di Indonesia atau bahkan dunia….entahlah. Sedih melihat tingkah laku rekan sejawat saya selaku pendeta bukannya menjadi teladan hidup malah menjadi sandungan. Sedih pula melihat jemaat yang hidup egois dan tak peduli Tuhan, sesama saudara seiman apalagi mereka yang belum mengenal Tuhan Yesus. Sedih melihat gereja tak ubahnya sebuah perusahaan entertainment rohani dewasa ini.

Apakah ini gereja, mempelai Kristus? Sudah siapkah kita menyambut kedatanganNya? Jangan sampai kala IA datang kita belum siap. Saat IA datang kita masih mengenakan rol rambut, masker wajah berwarna hijau dan daster yang sudah satu bulan belum ganti..super jorok dan sama sekali tidak siap untuk acara prosesi pernikahan dengan Anak Domba Allah. Atau jauh lebih lagi mungkin secara rohani kita masih seperti seorang bayi yang masih mengenakan popok dan dot di mulut.  Jadi bersiaplah!!!!!

 

  


BERSAMBUNG KE BAGIAN 4



Tidak ada komentar: