Senin, 21 Desember 2015

BE THE CHURCH (JADILAH GEREJA) part 2



“GEREJA DALAM BENAK SAYA DULU”


Keluarga besar saya termasuk keluarga yang taat beragama dan menghadiri ibadah gereja setiap Minggu, terlebih keluarga Oma Buyut saya adalah salah satu majelis terpandang di gereja yang sudah berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Saya teringat ketika diajarkan bahwa gereja merupakan gedung tempat suci dimana kita menjumpai Tuhan. Gedung gereja kami sangatlah artistik dan kuno dengan perlengkapan alat musik orgel (semacam organ zaman dahulu menggunakan pipa-pipa). Tempat tersebut suci maka kita harus berpakaian yang sopan dan terbaik, kita harus beretika seperti bila kita menghadap Presiden, sebab Tuhan kita, Raja di atas segala raja. Kita tidak boleh ribut, harus duduk rapih dan diam apalagi saat firman Tuhan atau khotbah. Dimana saya diajarkan Tuhan sedang berbicara melalui hambaNya, yaitu Bapak atau Ibu Pendeta. Sebagai seorang anak kecil pada saat itu, terus terang saya tidak menikmati kegiatan ibadah umum tersebut. Saya merasakan tiga jam ibadah yang menyiksa, karena saya harus banyak diam dan duduk “membeku” kalau tidak mata Mama atau orang di sekeliling saya akan melotot seolah saya sudah melakukan dosa yang tak terampuni. Hal yang mungkin melegakan saya adalah saat Bapak Pendeta mengucapkan doa berkat penutup dan lalu bernyanyi,”Amien….Amien…Amien.” Wah, langsung dada saya plong dan berkata dalam hati,”Akhirnya selesai juga.” Rutinitas beribadah ke gereja setiap Minggu pagi pada saat itu merupakan rutinitas paling membosankan bagi diri saya tetapi saya diajarkan bahwa itulah hidup kekristenan dan tanda kesetiaan saya pada Tuhan Yesus.

Saat saya kecil, Mama sering membawa saya ke toko buku Kristen, satu-satunya di kota Bandung saya rasa pada masa itu, Kalam Hidup. Di toko buku tersebut, saya membeli literatur buku cerita bergambar tentang Alkitab (yang sangat terbatas pada masa itu), saya paling menyukai tokoh Tuhan Yesus. Saya sangat mengagumi Tuhan saya, Yesus Kristus. Bagaimana Ia begitu mudah di dekati bahkan Ia menerima anak-anak kecil untuk duduk dipangkuanNya kala Ia tengah mengajar umat Tuhan. Timbul pertanyaan dalam benak saya, kalau Tuhan begitu mudah didekati mengapa sangat sulit untuk mendekati Pendeta? Bahkan saat Ia mengajar anak-anak ada di sekitarNya, apakah mereka juga harus duduk diam seperti saya saat berada di tempat ibadah atau mereka bertingkah sebagaimana anak-anak pada umumnya? Saya melihat bahwa anak-anak merasa aman dan nyaman untuk mendekati Tuhan Yesus sedang saya melihat anak-anak di gereja termasuk saya ketika itu, memiliki perasaan yang sebaliknya terhadap pendeta kami, melihat pendeta mengenakan jubah hitam besar dan wajahnya yang tegang, serius dan sedikit senyum membuat kami sebagai “kaum anak” merasa ikut tegang dan takut. Terkadang kami sudah mengulurkan tangan untuk bersalaman, Bapak pendeta tidak memberi salam pada kami sebab matanya tertuju pada Oom atau Tante yang ada di belakang kami, sedang kami begitu kecil dan terlewatkan. Hingga timbul persepsi dalam benak saya dulu bahwa sebagai anak kecil kami ini tidak berharga. Bila saya tanya pada Mama, mengapa Bapak Pendeta tidak mau menerima salam saya, Mama pun hanya diam seribu bahasa (mungkin Mama pun tak tahu cara untuk menerangkannya). Hingga akhirnya saya pun menjadi malas untuk bertanya dan beranggapan memang seperti itulah gereja.


Pada saat yang lain, anggota keluarga saya akan mengikuti sakramen baptisan (denominasi gereja kami mempercayai baptisan anak). Saya melihat anak-anak dari keluarga besar saya akan mengikuti baptisan, maka saya pun berbicara pada Mama bahwa saya pun ingin dibaptis. Tetapi Mama berkata,”Maaf Dave, kamu belum boleh dibaptis.”  Dengan wajah penuh keheranan saya pun bertanya,”Kenapa ga boleh,Ma…itu si A dan si B kok boleh?” Mama menghela napasnya dan dengan nada yang berat menyampaikan,”Dave, karena Mama belum menikah dan diberkati oleh gereja maka kamu ga bisa dibaptis.” Hati saya sedih, terluka dan tertolak saat melihat saudara-saudara saya dibaptis pada pagi itu.
(Kesaksian: Mama saya sempat terkena bujuk rayu kekasihnya untuk melakukan “hal terlarang” dalam masa berpacaran hingga akhirnya mama saya hamil melahirkan diri saya di luar lembaga pernikahan dan pria tersebut lari dari tanggungjawabnya)
Hal tersebut memukul batin Dave kecil saat itu, saya merasa bahwa Tuhan dan gereja menolak diri saya sebab saya terlahir ke dunia ini bukan dari lembaga pernikahan yang sah dan sempurna. Saya merasa “anak yang cacat” di mata gereja dan Tuhan. Sayangnya Mama maupun pihak gereja tidak menyadari hal tersebut. Hingga timbul dalam benak Dave kecil saat itu, bila gereja atau Tuhan menolak saya untuk apa saya melibatkan diri dalam kegiatan atau ritual ibadah yang membosankan ini? Mulai saat itu saya membuat seribu satu alasan agar saya tak perlu pergi ke gereja. Kalau pun saya “dipaksa” ikut, saya banyak mangkir ke toilet…..dan ternyata banyak sekali Oom-Oom terkasih di sana menghisap rokok sambil mengobrol menantikan khotbah atau doa syafaat berakhir….mereka pun ternyata bosan berada di dalam. Bertambahlah kuat dalam benak saya persepsi bahwa gereja adalah tempat paling membosankan di muka bumi.

Pengalaman masa kecil membuat saya bertumbuh sebagai remaja yang memberontak dan terlibat dalam dunia hitam di jalanan. Hanya oleh kasih karunia Tuhan saja, Ia membawa saya kembali ke dalam pelukanNya.

Saat saya bertobat dalam salah satu acara Kebaktian Kebangunan Rohani di kota Bandung. Saya pun mengalami kesulitan saat sudah bertobat dan kembali ke pelukan Tuhan Yesus. Saya mengalami banyak penolakan “hanya” akibat cara saya berpakaian kala beribadah. Orang sangat antipati sebab saya berambut gondrong, mengenakan anting, bercelana jeans belel dan mengenakan t-shirt warna hitam. Semua pandangan mata penuh curiga, seorang Tante yang duduk disebelah saya selama ibadah terus memegang tasnya dan menatap dengan penuh curiga. Bukan karena saya tidak mau “berpakaian sopan” hanya saja selama 12 tahun hidup sebagai anak geng di jalanan, saya tak punya celana kain ataupun kemeja. Namun saya pun tak memiliki ruang untuk memberikan penjelasan sebab tak ada seorang pun yang bertanya. Apakah Tuhan Yesus hanya menerima orang yang berpakaian rapih dan sopan? Apakah Tuhan tidak tahu masalah kami yang berasal “dari jalanan”? Kembali pertanyaan ini menggelayuti pemikiran saya. Hampir saja saya menyerah akibat penolakan pihak gereja pada saat itu, sampai saya berdoa dan Tuhan berbicara melalui hati nurani saya,”Dave, bila kau terus memandang manusia atau organisasi gereja maka kau akan kecewa. Sebab itu “hanya” fokus padaKU sebab AKU tak akan menolakmu.”

Sebagai orang awam saat itu saya berpandangan bahwa gereja merupakan tempat suci hanya bagi orang-orang yang “kudus” dan mengikuti budaya gereja tersebut (cara berpakaian, berbicara, bersikap selama ibadah), tidak ada tempat bagi orang yang “berbeda”, saya pun harus menjadi sempurna dengan mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan entah itu alkitabiah atau hanya bagian dari tradisi pendiri organisasi tersebut. Mulai saat itulah saya pun mengikuti “budaya” setempat agar dapat diterima. Saya suka atau tidak diikuti saja “demi Tuhan Yesus”.

Apa yang diajarkan pada saya tentang gereja di Sekolah Alkitab

Saat saya mengikuti Sekolah Alkitab saya mendapatkan pelajaran mata kuliah Pertumbuhan Gereja. Kami sebagai mahasiswa diajarkan bahwa setiap hamba Tuhan harus dapat merintis gereja sebab itu yang Tuhan Yesus kehendaki. Dosen kami (jebolan Sekolah Pertumbuhan Gereja dari Pendeta David Yonggi Cho di Korea Selatan) mengajarkan bahwa faktor penyebab pertumbuhan jemaat adalah faktor kelahiran (dalam jemat yang sudah eksis), lokasi atau tempat ibadah yang strategis dan penginjilan.

Lebih lanjut dosen saya mengajarkan mengenai betapa pentingnya sebuah gereja mempunyai visi. Ini merupakan hal pertama yang harus dimiliki oleh gereja yaitu visi. Ia menyatakan bahwa perkembangan sebuah jemaat ditentukan oleh Pendetanya. Gereja yang berkembang pesat menjadi mega church (gereja mega) memiliki pemimpin yang dinamis dan inovatif. Pemimpin gereja yang dinamis memiliki iman, visi dan rencana yang terfokus; pemimpin model ini akan dengan mudah mempengaruhi kehidupan seluruh jemaat dan perkembangan pelayanan yang digembalakan menuju pertumbuhan yang pesat.
Sebagai contoh beliau menggambarkan apa yang dilakukan oleh Pendeta Yonggi Cho, sebagai pemimpin beliau memaparkan sasaran-sasaran apa saja yang akan mereka capai setiap tahunnya. Umpamanya memperluas kompleks gereja, meningkatkan jumlah anggota, meningkatkan persekutuan sel keluarga, menggencarkan penginjilan dalam segala bentuk media melalui World Mission Crusade dan meningkatkan serta menguatkan iman setiap anggota jemaat melalui berbagai pelatihan pembinaan iman dalam gereja.

Hal yang kedua beliau tekankan adalah kehidupan doa bahwa doa dapat mengubah segala keadaan. Penekanan bahwa setiap gereja harus memiliki ibadah doa semalam suntuk minimal sekali seminggu tetapi bila hendak berkembang pesat seperti gereja Yoido Full Gospel yang digembalakan Pdt Yonggi Cho maka ibadah doa semalam suntuk harus diadakan setiap hari. Setelah itu disusul ibadah doa pagi setiap hari, dari pukul 04.30 hingga 06.00. Kegiatan ini diikuti oleh jemaat Pdt Yonggi Cho dengan rajin, ibadah doa ini setiap harinya dihadiri oleh ribuan orang. Mereka juga memiliki bukit doa yang berada di luar kota Seoul yang dibuka bagi siapa saja selama 24 jam, yang mau datang untuk berdoa bagi kemajuan gereja Yoido Full Gospel dan kebutuhan lainnya.

Hal ketiga adalah perlunya gereja memiliki kelompok sel. Beliau mengajarkan bahwa salah satu kunci sukses pertumbuhan dan pertambahan jemaat pada gereja Yoido Full Gospel adalah sistem kelompok sel. Beliau menerangkan bahwa kelompok sel terdiri dari 8 hingga 15 Kepala Keluarga di suatu wilayah dan pada hari tertentu untuk berdoa, berbakti dan mempelajari firman Tuhan yang telah disampaikan oleh Gembala Sidang pada ibadah raya.
Dalam kelompok sel ini diadakan doa bagi mereka yang mempunyai masalah, penyakit dan mencari kepenuhan Roh Kudus. Sasaran setiap sel adalah melahirkan sel baru lagi setelah jumlah mereka yang berkumpul lebih dari 15 KK, maka kelompok sel itu harus membelah membentuk sel baru. Kaum awam dilibatkan dalam pelayanan ini diharapkan mereka menjadi anggota aktif dan tidak pasif.
Kami diajarkan tujuh hal yang perlu dihindari terjadi dalam kelompok sel, yaitu bahwa ketua sel harus seorang pria, ibadah kelompok sel tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan syukur/acara sejenis ini diadakan terpisah atau setelah ibadah sel, pemimpin yang tak berkualitas (sebab itu setiap ketua kelompok sel harus mengikuti kelas-kelas pelatihan, memiliki sertifikat dan didoakan di muka jemaat umum dalam ibadah raya), dilarang mengundang pengkhotbah tamu (sebab siapa tahu memiliki doktrin yang berbeda dengan gereja kita dan menyesatkan jemaat), dilarang saling pinjam meminjam entah barang apalagi uang antar jemaat, tempat ibadah atau rumah harus yang memadai, dan persembahan harus langsung disetor ke bendahara gereja agar tidak ada yang menggunakannya.
Kami juga diberikan petunjuk liturgi ibadah kelompok sel:
-          Doa
-          Pujian
-          Kesaksian
-          Persembahan pujian/pujian
-          Persembahan/kolekte
-          Firman Tuhan
-          Doa bagi masalah, penyakit dan kepenuhan Roh Kudus
-          Doa penutup
Sedang cara memulai sebuah kelompok sel adalah dengan mencari tempat yang besar dan cukup strategis (orang yang bersedia rumahnya digunakan), diumumkan melalui buletin gereja dan juga mimbar gereja pada ibadah raya, memilih dan menetapkan pemimpin, dimulai dari anggota keluarga sendiri dan menyusun target untuk mengundang 15 KK di luar jemaat organisasi gereja kita sampai target itu tercapai dan lalu membelah menjadi sel yang baru.

Hal keempat, gereja harus memiliki program missi. Gereja harus terlibat dalam missi dunia, mengirimkan tenaga misionaris menjangkau suku terabaikan di dalam negeri sendiri maupun negara-negara lain. Gereja yang terlibat missi pasti diberkati oleh Tuhan Yesus.

Hal kelima, seorang pendeta yang sukses harus memiliki staf yang memiliki loyalitas terhadap visi global gereja, kharisma dan kemampuan melayani secara profesional. Mereka harus dapat menjadi “pahlawan” bagi jemaat.

Hal keenam, gereja kita harus bergabung dengan sebuah sinode yang memiliki struktur organisasi yang baik. Jangan bergabung dengan sinode dengan struktur yang kaku dan mati sebab akan menghambat pertumbuhan jemaat.

Hal ketujuh, masalah khotbah haruslah yang up to date (terkini), menggugah iman, memberi motivasi dan menunjukkan rasa simpati serta beban kebutuhan hidup jemaat. Saat itu kami ditekankan untuk menyampaikan khotbah yang menekankan rahasia kehidupan; seperti bagaimana hidup sukses, rahasia hidup sehat & bahagia, jalan keluar dari segala masalah, bagaimana lepas dari jerat hutang, dan pergumulan hidup dan yang sejenisnya. Diharapkan ketika jemaat merasa kebutuhan hidupnya terjawab melalui khotbah kita maka mereka pun akan membawa orang lain masuk dalam jemaat kita. Hingga terjadi pertumbuhan dalam jemaat akibat khotbah kita yang tepat sasaran.

Di akhir mata kuliah ini, dosen saya juga memberikan 7 rahasia pertumbuhan dari gereja Crystal Cathedral yang digembalakan Pendeta Robert Schuller di Amerika Serikat:

-          Gereja harus berada-ada di tengah masyarakat.
-          Memiliki tempat parkir yang luas.
-          Mudah dicapai dan strategis lokasinya.
-          Kebaktiannya harus hidup, menarik dan mengena pada kebutuhan jemaat.
-          Pemikiran positif dan motivasi yang disampaikan melalui khotbah
-          Jangan takut berhutang untuk membangun gereja (gedung ibadah)
-          Pemasaran/propaganda gereja dengan memperkenalkan pelayanan gereja kita melalui masmedia dan program apa saja yang dikerjakan.
Sejak saat itu buku-buku mengenai cara penanaman gereja dari para pendeta mega church, rahasia kebangunan rohani dan cara menjadi pendeta sukses menjadi lalapan saya. Bahkan buku-buku bacaan rohani tersebut menjadi lebih penting daripada Alkitab itu sendiri tanpa saya menyadarinya. Bukannya mencari blue print dari Tuhan, saya mencari rumus kesuksesan gereja dari rekan-rekan pendeta….saya coba mengikuti blue print mereka.
Gereja dalam pandangan saya saat itu lebih pada sebuah tempat atau gedung yang harus terus menerus dirawat dan dibangun, memiliki program terpadu, harus menyampaikan khotbah pengajaran yang menjawab kebutuhan dan kedahagaan jemaat, dan membesarkan jumlah anggota. Ukuran keberhasilan saya saat itu adalah dari betapa megahnya gedung gereja yang kami dirikan, berapa banyak jumlah anggota jemaat kami, berapa banyak perpuluhan dan persembahan yang kami dapatkan, padatnya jadwal khotbah kita baik di dalam maupun luar jemaat, berapa banyak orang yang mengalami “lawatan Allah” (tumbang saat didoakan, menangis tersedu, dll), dapat mendirikan sekolah Alkitab sendiri dan mengutus misionaris menjangkau suku terabaikan. Semuanya ini menjadi target pelayanan penanaman gereja saya. Saya ingin punya nama besar dari gereja yang saya rintis di dalam nama Tuhan.

BERSAMBUNG KE BAGIAN 3.........







Tidak ada komentar: