“MENILIK SEJARAH GEREJA MULA-MULA”
Gereja yang sejati jauh lebih
dari sekedar terfokus pada struktur organisasi dan badan hukum maupun masalah
anggaran dasar dan rumahtangga.
Matius 28:18-20 Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah
diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu
yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu
senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Gereja Tuhan ditugaskan untuk menjadikan semua bangsa murid Tuhan Yesus.
Kita dapat melihat intervensi ilahi sejak awal Tuhan Yesus memberikan Amanat
Agung ini, Ia berjanji akan menyertai kita semua sampai akhir zaman dan segala
kuasa ada dalam tanganNya.
Kitab Kisah Para Rasul dimulai dengan pertemuan 120 murid Tuhan di sebuah
tingkap di Yerusalem dan saat itu mereka mengalami ketakutan. Saat itulah Tuhan
Yesus membaptis mereka dengan Roh Kudus sesuai janjiNya sebelum Ia naik ke sorga.
Kisah Para Rasul 1:8, ‘Tetapi kamu akan
menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke
atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea
dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” Rasa takut itu lenyap dan mereka
dipenuhi keberanian untuk mengabarkan Injil. Ketika mereka mengalami kepenuhan
Roh Kudus, mereka berubah menjadi saksi Kristus. Saksi di dalam bahasa Yunani
adalah martus yang berarti saksi atau martir. Gereja mula-mula zaman para rasul
atau murid Kristus dimulai tahun 70-130.
Dalam kurun waktu satu generasi, Injil sudah diberitakan di seluruh Asia
Kecil, memasuki Eropa, jemaat-jemaat kecil didirikan di semua kota besar,
bahkan Roma yang kala itu merupakan pusat dunia.
Jemaat mula-mula ini bersifat misioner. Mereka self governing (memimpin diri sendiri, mandiri secara
kepemimpinan), self supporting
(mandiri secara keuangan), self
propagating (giat memberitakan Injil) dan self reproducing (berkembang secara natural).
Saat gereja mengalami aniaya yang
berat, orang Kristen memulai suatu tradisi menggambar lengkungan di tanah
menggunakan kaki atau tongkat mereka. Bila orang di hadapannya menggambar
lengkungan kedua yang berlawanan dengan yang pertama hingga membentuk gambar
ikan maka mereka berdua tahu bahwa mereka merupakan saudara seiman sehingga
mereka dapat bersekutu bersama dengan bebas.
Gereja mula-mula diperlengkapi oleh pelayanan lima jawatan, Efesus 4:11-15
“Dan Ia (Tuhan Yesus)lah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala
dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi
orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus,
sampai kita semua telah mencapai kesatuan
iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan
tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita
bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran,
oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi
dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam
segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” Mereka pada umumnya
berpindah-pindah sesuai pimpinan dan bimbingan Roh Kudus.
Sedangkan pemimpin dalam jemaat mula-mula adalah penatua (penilik) bersama
diaken. Ini bukanlah sekedar jabatan tetapi lebih pada fungsi pemimpin sebagai
seorang teladan, ayah dan hamba. Dapat dengan jelas kita baca di dalam 1
Timotius 3:1-13 Benarlah perkataan ini: “Orang yang menghendaki jabatan penilik
jemaat menginginkan pekerjaan yang indah.” Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan
diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan
peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, seorang
kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau
seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat
mengurus Jemaat Allah? Janganlah ia seorang yang baru bertobat, agar jangan ia
menjadi sombong dan kena hukuman Iblis. Hendaklah ia juga mempunyai nama
baik di luar jemaat, agar jangan ia digugat orang dan jatuh ke dalam jerat
Iblis. Demikian juga diaken-diaken haruslah orang terhormat,
jangan bercabang lidah, jangan penggemar anggur, jangan serakah, melainkan
orang yang memelihara rahasia iman dalam hati nurani yang suci. Mereka juga
harus diuji dahulu, baru ditetapkan dalam pelayanan itu setelah ternyata mereka
tak bercacat. Demikian pula isteri-isteri hendaklah orang terhormat, jangan
pemfitnah, hendaklah dapat menahan diri dan dapat dipercayai dalam segala hal.
Diaken haruslah suami dari satu isteri dan mengurus anak-anaknya dan
keluarganya dengan baik. Karena mereka yang melayani dengan baik beroleh
kedudukan yang baik sehingga dalam iman kepada Kristus Yesus mereka dapat
bersaksi dengan leluasa.
It’s about character! Kepemimpinan dalam gereja mula-mula menekankan pada
ketaatan, karakter dan teladan bagi “keluarga rohani”nya.
Pada abad pertama umat Tuhan bersekutu dan beribadah di rumah masing-masing
dan tidak mempunyai gedung ibadah khusus. Mereka beribadah tanpa memakai suatu
tata ibadah yang tersusun rapi.
Mereka saling mendoakan, menyembah Tuhan dengan bebas, ada pengajaran,
makan bersama, saling menguatkan dan membantu. Mereka terbuka pada pimpinan Roh
Kudus, sebagaimana tertulis dalam 1 Korintus 14:26-28 “Jadi bagaimana sekarang,
saudara-saudara? Bilamana kamu berkumpul,
hendaklah tiap-tiap orang mempersembahkan
sesuatu: yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau penyataan Allah, atau
karunia bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh, tetapi semuanya
itu harus dipergunakan untuk membangun. Jika ada yang berkata-kata dengan
bahasa roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang, seorang demi
seorang, dan harus ada seorang lain untuk menafsirkannya. Jika tidak ada orang
yang dapat menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat
dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah.”
Demikian pula dalam Efesus 5:18c-21, “tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh, dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan
bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati. Ucaplah syukur senantiasa atas
segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita
dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.
Atau sebagaimana kita baca dalam Kisah Para Rasul 2:42-47 Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Maka
ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan tanda. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu,
dan segala kepunyaan mereka adalah
kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka
yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.
Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam
Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing
secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati,
sambil memuji Allah. Dan mereka
disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.
Jemaat mula-mula memiliki kekuatan dan keuntungan. Dalam sebuah ibadah di
rumah atmosfir yang terbangun adalah suasana kekeluargaan, masing-masing saling
mengenal dan lahirnya kepedulian dalam persekutuan lebih nyata.
Dengan pertemuan di rumah, kita dapat menghindari hal-hal yang kurang
praktis. Umpamanya masalah pakaian formil yang membuat beberapa orang merasa
rendah diri, masalah harus bersikap “hormat dan kudus”,dstnya. Dalam pertemuan
di rumah perbedaan di antara lapisan masyarakat dapat lebih mudah diatasi.
Jumlah umat Tuhan yang lebih sedikit memberikan kesempatan bagi setiap
orang untuk berfungsi di dalam ibadah dan bertumbuh secara kerohanian.
Mereka tidak memerlukan dana besar untuk membeli tanah, mendirikan
bangunan, pemeliharaan dan izin gedung gereja. Uang persembahan digunakan untuk
membangun “gereja” (umat Tuhan) yang membutuhkan, membiayai perjalanan para
rasul dan pelayanan lima jawatan yang ada, pekabaran Injil dan pelayanan
diakonia(sosial).
Dalam gereja mula-mula (di rumah) pemimpin dan jemaat lebih mudah mengatasi
pencobaan. Salah satunya kesombongan rohani menganggap diri sebagai “selebritis
rohani”(orang penting) atau kesombongan organisasi. Sebagaimana sering terjadi
kini ketika jumlah anggota jemaat bertambah besar dan aset organisasi bernilai
milyaran rupiah, karakter pemimpian maupun anggota jemaatnya berubah.
Pengkaderan pemimpin lebih mudah dalam jemaat mula-mula. Menjadi pemimpin
pada saat itu lebih menekankan pada fungsi membapai dan melayani sesama bukan
sebagai sebuah jabatan bergengsi sebagaimana terjadi dalam gereja modern.
Dimana pemimpin gereja lebih mirip CEO sebuah perusahaan mapan dengan gaji
besar. Patut disayangkan hal ini terjadi.
Jemaat mula-mula lebih fleksibel, mereka dapat bertemu di rumah bahkan di kuburan
bawah tanah (katakombe), di dalam gua atau hutan. Meski coba dihambat mereka
merambat semakin dibabat mereka makin mencuat. Jemaat ini sudah teruji sulit
untuk dihambat meskipun mengalami penganiayaan berat bahkan dapat dikatakan
sadis.
Jemaat mula-mula menekankan setiap anggotanya untuk menjadi pelaku firman
Tuhan dan berfungsi memperluas Kerajaan Allah. Jemaat modern lebih suka
mendengarkan khotbah, dengan hanya sekedar mendengar saja kita hanya belajar
sedikit. 10% dari apa yang kita dengar sajalah yang masih kita ingat dalam
tempo 3 hari. Bandingkan dengan jemaat mula-mula yang bukan saja melakukannya
tetapi juga mengajarkannya pada murid atau orang percaya lain, 90% apa yang
mereka dapatkan menjadi bagian dalam kehidupan mereka.
Jemaat mula-mula memberitakan Injil secara natural, semua orang terlibat
dalam pelebaran Kerajaan Allah dan dalam hal menghasilkan murid bukan semata
tugas para rasul saja. Bandingkan dengan gereja modern kita yang
menitikberatkan tugas pelayanan atau pekerjaan Tuhan hanya pada sekelompok
rohaniwan. Lingkup memenangkan jiwa baru dan menanam gereja baru pun kini
dikerjakan oleh “pasukan elit rohaniwan” yang kita kenal sebagai penginjil dan
misionaris. Tidak heran kini gereja “mandul”.
SAAT TERJADI DEGRADASI DALAM GEREJA
Gereja mula-mula secara alamiah bertemu dari rumah ke rumah, biasanya
mereka berkumpul dalam sebuah ruangan yang cukup besar di salah satu jemaat.
Para ahli sejarah gereja sepakat bahwa jumlah mereka berkisar 15-20 orang. Ketika
jumlah mereka membesar, otomatis mereka akan memulai kelompok baru di rumah
jemaat yang lain. Jika tidak maka dapat dipastikan akan timbul masalah. Origen,
dalam khotbahnya di gereja rumah di Kaisarea mengatakan,”Orang-orang yang bersembunyi dalam jumlah besar biasanya memiliki
kisah yang mengenaskan.”
Pada tahun 95, Rasul Yohanes meninggal di Efesus, ia merupakan rasul dan
murid Tuhan Yesus terakhir yang meninggal dunia sedangkan yang lainnya telah
mati sebagai martir. Sejak saat itulah perlahan-lahan “gereja mula-mula” mulai
memudar sinar dan pengaruhnya. Tahun 100 baptisan Roh Kudus hilang dari
pengajaran gereja, disusul dengan hilangnya pengajaran tentang penumpangan
tangan dan nubuatan pada tahun130. Tahun 160, kepemimpinan jamak (kepenatuaan)
digantikan dengan sistem keuskupan. Lebih celaka lagi tahun 180 muncul
denominasi pertama (denominasi berasal dari kata Denome = the name artinya
nama), tanpa sadar roh Babel (Kejadian 11:1-9) menyelusup ke dalam gereja Tuhan
sepeninggal Yohanes, membuat umat Tuhan mulai terpecah belah dan kesatuan lokal
dalam sebuah kota hilang dari gereja. Tahun 185 baptisan orang percaya hilang
dan tahun 210 keimamatan orang percaya mulai digantikan imam-imam profesional.
Dan tahun 225 spontanitas dalam pertemuan ibadah lenyap.
Tahun 300, gereja kehilangan pengajaran kekudusan dalam keluarga dan para
imam dilarang menikah mulai saat itu. Kekristenan yang tadinya menekankan
kekuatan pada hubungan (relation) terhadap Tuhan dan sesama saudara seiman,
kini mulai terjebak pada keagamawian (religion) yang menekankan pada upaya
manusia berbuat kebajikan terhadap Tuhan dan sesama. Ketaatan bukan karena
kasih (dengan rela hati) tetapi hukum (dengan berat hati).
Gereja mula-mula makin melemah, sekitar tahun 311-313 pemerintah Romawi
mengeluarkan Edik (dekrit) Milano dimana kekristenan menjadi salah satu agama
di antara agama-agama lain (diakui resmi). Seiring bertobatnya kaisar
Konstantin dan menjadi Kristen pada tahun 312. Hingga sejak itu tidak ada lagi
penganiayaan terhadap orang Kristen. Tetapi sejak saat itu pula orang Kristen
mulai beribadah di gedung ibadah yang disediakan pemerintah Romawi. Dilayani
oleh kaum rohaniwan yang akan memimpin semua acara keagamaan seperti
pemberkatan nikah, baptisan air, pentahbisan “imam” dan kegiatan keagamaan
lainnya.
Pada masa itu negara memberi kuasa bagi para “imam” untuk menekan mereka
yang tidak taat kepada peraturan yang ada. Mereka yang tidak mau taat akan
menghadapi konsekwensi dibunuh atau dihukum jika melanggar peraturan kerohanian
dan standar-standar yang telah ditetapkan. Gereja sudah menjadi tawar dan padam
kala itu. Pada masa itu gereja hidup berdampingan dan kompromi dengan
agama-agama palsu.
Kurang lebih tahun 320, permulaan sebuah kebiasaan baru dengan menggunakan
lilin di dalam kebaktian dan berdirinya biara pertama yang didirikan oleh Pachomius
di Mesir. Tadinya “gereja” mendapatkan amanat dari Tuhan untuk berfungsi sebagai garam dan terang di
tengah masyarakat tetapi kini “gereja” menarik diri dari tempatnya. Gereja
mengasingkan diri dari dunia yang gelap kala biara berdiri. Kelompok orang
percaya yang seharusnya menjadi teladan dalam masyarakat kini mengasingkan diri
demi menjaga kekudusan, punya waktu lebih dengan Tuhan, dll. Tujuannya baik,
idenya baik tetapi tidak semua tujuan dan ide baik berasal dari Tuhan. (Good
destiny and good idea are not always God’s destiny and idea)
Setahun kemudian 321, hari Minggu ditetapkan sebagai hari raya kudus di seluruh wilayah kekaisaran Romawi. Dan
sejak tahun 336, perayaan Natal ditetapkan sebagai hari suci umat
Kristen di Roma. 25 Desember atau
Natal sebelumnya adalah perayaan hari lahirnya Dewa Matahari dimana diubah sebagai perayaan hari lahirnya Tuhan
Yesus pada saat itu. Pada tahun 350 mulai muncul prinsip amal sebagai pengganti pengajaran
keselamatan adalah kasih karunia Tuhan melalui pengorbanan Kristus di kayu
salib.
Tahun 380 keluarlah Edik (dekrit) Theodosius 1 Agung yang menyatakan kekristenan sebagai agama satu-satunya
dalam kekaisaran Romawi. Edik atau dekrit ini diberlakukan di seluruh
kekaisaran Romawi pada tahun 392. Gereja mulai berkompromi dengan kekafiran,
gereja lebih mengutamakan gedung sebagai tempat suci, berdoa pada patung,
mimbar atau altar, beragam atribut hingga menjadikan doa sebagai mantra. Inilah
awal yang saya namakan “kecelakaan gereja”. Setiap warga Romawi dipaksa menjadi
anggota gereja dan harus percaya kepada “Lex Dei” yaitu hukum iman. Segala
kelompok dan gerakan, termasuk orang Kristen yang berkumpul di rumah dilarang
bertemu. Beribadah di rumah menjadi sebuah kegiatan terlarang dan barangsiapa
tetap melakukannya akan ditangkap sebagai seorang kriminal. Mulailah terjadi
sebuah era dimana “gereja” menganiaya gereja.
Praktek baptisan percik dimulai pada tahun 400, hukum indulgensia
(pengampunan dosa) mulai diajarkan dan populer. Sejak itu dimulailah perjalanan
gereja memasuki “the dark ages”
selama 1200 tahun.
Setelah itu gereja makin lama makin meninggalkan “the sound doctrine”(doktrin
yang benar). Tahun 431 adalah permulaan penyembahan kepada Bunda Maria
(theotokos). Sejak tahun 440 hingga 460 Leo 1 Agung menjadi Paus pertama dalam
arti sebagai pemimpin penuh dari gereja sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Tahun
593 muncul dogma Api Penyucian (purgatorium) yang ditetapkan oleh Paus Gregor 1
Agung. Pada tahun 600 muncul doa kepada Bunda Maria, orang-orang suci dan para
malaikat semakin berkembang.
Saat degradasi terjadi dalam gereja muncullah Muhammad pada tahun 570-632
dan agama Islam berkembang. Wilayah-wilayah yang dahulunya telah dimenangkan
bagi Tuhan kala itu beralih imannya akibat “degradasi” iman yang terjadi dalam
gereja.
Hingga suatu hari terjadi “sejarah hitam” yang dilakukan oleh gereja yaitu
“perang salib”. Gereja yang seharusnya hidup dalam kasih, menyatakan kasih dan
dikenal sebagai orang-orang yang penuh kasih sayang menjadi kaum barbar dengan
mengatasnamakan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar