“Sebuah
perjalanan rohani mencari esensi gereja yang sebenarnya”
Pada tahun 1996 terjadi peristiwa
berantai dimana gereja-gereja Indonesia mengalami aniaya di beberapa kota di
Pulau Jawa. Gedung-gedung ibadah diserang dan dibakar, salah satu kisah yang
mengharukan terjadi di Situbondo dimana keluarga pelayan Tuhan pun tewas sebagai
martir dalam kerusuhan tersebut. Di belahan Pulau Jawa yang lain, saat itu saya
tengah melayani di sebuah denominasi gereja yang berada di Jawa Barat. Kala itu
gedung ibadah tempat kami melayani juga diserang dan dibakar oleh massa. Sangat
menakutkan kondisi tersebut, melihat bangunan yang megah dan segala fasilitas
yang ada lenyap seketika itu juga. Saat itu saya sendiri tengah melayani di
kota lain sedang seorang rekan saya yang berada di lokasi berhasil meloloskan
diri dari penyerangan tersebut. Puji Tuhan.
Ketika tiba hari Minggu beberapa
hari setelah penyerangan dan pembakaran itu, jemaat menelpon kami dan
menanyakan apakah tetap ada ibadah. Dan kami menjawab ibadah tetap ada, mereka
pun menanyakan dimana dan bagaimana? Mereka bingung bagaimana kita akan
beribadah sebab gedung ibadah hancur dilalap si jago merah, perlengkapan musik
dan sound system rusak dan tidak ada bangku.
Peristiwa itu mulai mengganggu
pikiran saya, sebegitu mudahnyakah gereja dihentikan dan ditutup? Apakah ini
hanya satu-satunya cara kita beribadah pada Tuhan kita?
Beberapa tahun kemudian pada akhir 90-an saat itu kami tengah
merintis sebuah jemaat di kota Pahlawan – Surabaya, “orangtua rohani” kami Pr
Christopher dan Vijaya Khrisnasamy dari pelayanan Zoe Ministries Penang – Malaysia
datang mengunjungi keluarga kami. Kala itu kami tinggal di daerah Kedondong
yang sangat padat penduduk, beliau mentaati suara Tuhan untuk datang ke
Indonesia dan “menguatkan” kami. Saat kami dalam kondisi tidak punya
apa-apa, beliau datang mengunjungi kami.
Beliau datang sebagai ayah yang menerima keberadaan kami sebagai pelayan
Tuhan bagi kaum terbuang dan tersisih. Sedikit flashback mengingat
pertemuan pertama kami. Saya sangat
diberkati melalui pelayanan beliau sejak 1995, kala bertemu beliau di Discipleship
Training School – YWAM Jakarta. Kami merasakan “pribadi Bapa surgawi” yang
terefleksi melalui kehidupan keluarga mereka. Bukan hanya dari sisi
pengajaran tetapi juga kehidupan mereka yang “berbeda”, mereka menjadi diri
mereka sendiri di dalam Tuhan dan “tidak berupaya” nampak sebagai “pendeta”
yang suci.
Gereja yang kami rintis memang berkembang tetapi jemaat kami mayoritas
bukanlah orang kaya dan terpelajar.
Mayoritas merupakan orang-orang yang selama ini tersisihkan dan dipandang
sebelah mata. Ada kalanya kami ingin menyerah saat itu sebab kami tidak
memiliki fasilitas apa-apa. Kami beribadah dari rumah ke rumah dan tak punya
gedung atau sekretariat. Pelayanan berkembang dari hanya segelintir orang
sampai lalu mencapai ratusan orang. Meski kami miskin tetapi kesatuan,
kebersamaan dan “api” itu ada dalam diri kami masing-masing.
Kala kebingungan melanda diri kami, Tuhan mengutus anakNya dari Malaysia
untuk menguatkan kami. Beliau menyampaikan sebuah nubuatan bagaimana Tuhan memakai pelayanan kami
untuk memulihkan dan mengubahkan banyak jiwa sebagaimana Daud bersama
pengikutnya di gua Adulam, segerombolan pecundang yang berubah menjadi
sekumpulan pahlawan Daud. Bagaimana Tuhan menghendaki kami untuk menanam gereja
dengan pola yang ada di dalam Perjanjian Baru seperti jemaat mula-mula di dalam
kitab Kisah Para Rasul.
Beliau bercerita bagaimana ketika Idi Amien berkuasa di Uganda, ia
menangkapi dan membunuh para pendeta dan orang Kristen dilarang bertemu untuk beribadah. Ada dua kepala keluarga yang setiap hari bertemu di sebuah
pabrik tempat mereka bekerja. Tetapi mereka dilarang bahkan untuk berbicara
mengenai Tuhan di tempat bekerja. Setiap sore ketika mereka pulang dan
mengambil sepeda di tempat parkir, maka mereka berjalan berdampingan, lalu saling menanyakan keadaan masing-masing.
Dalam perjalanan keluar tempat kerja, mereka saling mendoakan atau saling
membagikan hasil saat teduh atau renungan pagi untuk saling menguatkan iman.
Akhirnya mereka berpisah di ujung jalan kantor hingga keesokan harinya kembali.
Lalu beliau berkata pada saya,”Dave, itulah gereja.” Duueeer!!!!!! Saya
sangat terkejut dengan pernyataan beliau. “Apakah itu bisa disebut gereja?”
Beliau memberikan kutipan ayat di dalam Matius 18:20, “Sebab di mana dua atau
tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”Paradigma
mengenai gereja yang selama ini ada dalam benak saya terguncang.
Lain lagi ketika Tuhan mempertemukan saya dengan Inban Caldwell berdiskusi dengan saya (Inban dan
Rozanne Caldwell merupakan “mentor rohani” kami yang lain – saya pertama kali bertemu beliau saat
melayani sebagai staf DTS dari Youth With A Mission Lawang), beliau menanamkan nilai kepemimpinan, ketegasan,
keberanian dan kesungguhan untuk mencapai visi Tuhan. Dimana ketika itu ia
mengajak saya memikirkan bagaimana caranya agar jemaat yang ada memiliki rasa
takut akan Tuhan. Ia mengajarkan pada saya bahwa rasa takut akan Tuhan harus
dimulai di rumah tangga. Ujian kita sebagai orang Kristen adalah di rumah,
meskipun kita pandai berkhotbah dan mengajar Alkitab bahkan punya pelayanan
internasional sekalipun tetapi orang di dalam rumah dapat tahu dengan pasti
apakah kita orang Kristen yang melakukan firman Tuhan atau hanya seorang
munafik yang pandai berbicara. Singkatnya praktek gereja harus dimulai di rumah.
Hal lain lagi yang ia tanamkan pada saya adalah bahwa setiap hari adalah
kudus. Tidak ada sebuah hari yang lebih sakral dari yang lain. Semua hari sama
hingga kita harus hidup dalam takut akan Tuhan setiap hari bahkan setiap saat
tentunya. Bukan hanya pada hari Minggu, itupun tampak suci saat di dalam gedung
ibadah saja.
Beliau juga menanamkan betapa pentingnya visi atau tujuan bagi umat Tuhan
sebab bila tidak jemaat akan hidup tanpa tujuan yang jelas.
Dari teladan kehidupan kedua
keluarga ini saya banyak belajar dan akhirnya mengajar arti servant leadership (kepemimpinan
kehambaan) dan fathering leadership (kepemimpinan pembapaan). Menjadi “ayah
rohani” bukan sekedar mendapat panggilan “papa atau papi” dari murid kita
tetapi lebih pada fungsi. Benar-benar menjadi ayah kala suka maupun duka.
Gereja sebagai keluarga Allah yang sesungguhnya dan bukan sekedar “lips service”.
Sejak saat itu benak saya dipenuhi pertanyaan dan rasa ingin tahu yang
besar untuk menyelidiki apakah itu gereja, apa rencana Tuhan tentang gerejaNya,
Seperti apakah gereja yang
didirikan Tuhan Yesus? Apakah saya membangun gereja Tuhan atau gereja saya
sendiri? Apakah gereja saat ini alkitabiah atau tidak? Kepemimpinan seperti apa
yang Tuhan kehendaki, kependetaan atau kepenatuaan dan mengapa? Apakah Tuhan
menghendaki orang percaya sebagai pengikut atau muridNya? Bila saya menemukan
kebenaranNya beranikah saya untuk melangkah berhadapan dengan tradisi gereja
yang sudah terbangun selama berabad-abad?
BERSAMBUNG KE PART 2.......
BERSAMBUNG KE PART 2.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar