“THE QUEST”
(KERESAHAN YANG MENGAWALI
PERJALANAN PENCARIAN)
Suatu kali saya berbincang dengan seorang rekan pelayan Tuhan dan
penanam gereja senior dari negeri
Paman Sam, Clifford H James, penulis buku The BluePrint. Di tengah perbincangan itu ia menanyakan satu
hal pada saya,”Dave menurutmu saat Tuhan datang kembali dan mengangkat
gerejaNya, siapakah yang akan Ia angkat, kita atau gedungnya?”
Saya menjawab tentunya,”Tentu kita sebagai gerejaNya dan bukan gedung
gereja.”
Cliff kemudian bertanya lagi,”Kalau begitu kita harus fokus membangun
gedung ibadah atau umat Tuhan?”
“Umat Tuhan tentunya!” jawab saya mantap.
Tetapi setelah saya memberikan jawaban tersebut, saya merasa tertempelak.
Sebab selama menggembalakan, urusan mengontrak gedung ibadah dan kantor
gereja menjadi beban tersendiri. Keuangan dari persembahan jemaat larinya pada
pemeliharaan gedung, administrasi kantor, membayar semua tagihan, membayar gaji
full-timer dan persembahan kasih bagi part-timer, dstnya. Hanya tertinggal dana
sedikit untuk diakonia atau membantu anggota jemaat yang berkesusahan
malah sering pula kas defisit hingga tak dapat membantu jemaat yang tengah
dalam kemalangan. Saat itu
saya hanya dapat berkata,”Maaf, saat ini kas gereja sedang defisit dan kami
hanya dapat membantu di dalam doa.” Sungguh ironis dan ini merupakan jawaban
klasik.
Hingga akhirnya gereja yang kami rintis bersinergi dengan sebuah gereja
dari negeri tetangga. Kesulitan finansial kini mulai dapat diatasi tetapi
pergerakan arah gereja mulai dikendalikan oleh pihak donatur. Kenaturalan dan
kekeluargaan yang selama ini ditekankan berubah total. Sebab pihak donatur
menghendaki kami mencapai target jiwa baru yang harus dimenangkan tiap
bulannya, mereka meminta bukti dengan adanya jumlah baptisan baru, pos PI baru,
lebih banyak jemaat yang mau diutus menjangkau suku terabaikan dan lahirnya
pemimpin-pemimpin baru. Semuanya itu
baik dan melecut kami untuk bekerja keras bagi pekerjaan Tuhan. Tetapi pada
akhirnya kami merasa keletihan dan stress bila target tidak tercapai. Saya pun sebagai gembala sidang
saat itu ikut merasa tertekan sebab itu berarti saya harus memberhentikan staf
gereja yang “kurang produktif” menghasilkan jiwa dan merekrut staf baru.
Biasanya saya kehilangan staf tersebut, ia merasa terluka dan tidak mau ada
bersama kami lagi. Sebagai “ayah rohani” tidak tega tetapi tuntutan donatur
seperti itu, dan saya juga tidak dapat berbuat apa-apa sebab mereka yang
menggaji staf gereja termasuk saya. Meskipun saya berusaha menguatkan mereka
untuk tetap setia melayani Tuhan, kebanyakan pindah dan melayani di tempat lain
atau memilih jalur pekerjaan sekuler atau hanya menjadi ibu rumahtangga.
Secara berkala tim-tim misi jangka pendek dari jejaring gereja asing
tersebut (pihak donatur) itu
datang, mereka melihat hasil yang kami kerjakan. Seringkali pujian datang
ketika mereka melihat hasil pelayanan gereja kami, 60% jiwa yang menjadi
anggota jemaat kami saat itu berasal dari “kepercayaan lain”. Tetapi sebenarnya kami “tengah hancur” (burn
out) secara kerohanian. Kami mengalami keletihan demi mencapai target
yang telah ditetapkan oleh pihak donatur. Tanpa sadar prioritas hidup kami
berubah, prioritas pertama dan utama bukan lagi melayani Tuhan tetapi
“pekerjaan Tuhan”. Pekerjaan Tuhan menjadi ilah atau berhala baru dalam
kehidupan kami. Saat kami kehilangan hubungan dengan Tuhan, keangkuhan masuk
dan merasa bila pelayanan dapat berkembang maju itu karena “saya” hingga
akhirnya Iblis yang mengadu domba kami. Perpecahan timbul sebab relasi dengan
Kristus terputus, dan ego mulai muncul.
Ketika orang-orang melihat pihak asing datang dan membantu kami baik secara
finansial maupun tenaga. Banyak orang berdatangan dan mengajukan diri untuk
terlibat pelayanan bersama kami untuk alasan yang salah.
Ketulusan keluarga kami
dalam pelayanan pun dicemari oknum-oknum yang mau mengkudeta diri saya dari posisi kepemimpinan. Belum
kisruh diantara staf yang mulai saling meninggikan diri, membanggakan gelar
pendidikan, jabatan dan karakternya
berubah setelah ditahbiskan menjadi pendeta oleh sinode gereja.
Entah sudah berapa kali
saya menghadapi kasus pencemaran nama baik, penggelapan uang gereja oleh staf,
penyalahgunaan wewenang dan masih banyak hal lagi.
Gereja yang tadinya hangat, penuh
atmosfir kekeluargaan, kasih sayang dan kepedulian satu dengan yang lainnya
berubah 180 derajat. Ada apa ini? Apa yang tengah terjadi di tengah kami?
Mengapa orang yang tadinya baik menjadi buruk kembali sikapnya?
Wah, hal-hal ini tidak pernah diajarkan baik di Sekolah Alkitab maupun
Theologia. Tidak ada satu pun orang yang pernah menceritakan hal ini dapat
terjadi dalam gereja Tuhan.
Tuhan Yesus berfirman dalam Matius 11:29-30, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah
lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan
beban-Ku pun ringan."
Lalu mengapa kuk (beban) yang ada di pundak saya rasanya begitu berat dan
sama sekali tidak enak? Jangan-jangan saya tengah memikul kuk yang lain dan
bukan kuk yang datang dari Tuhan Yesus.
Sejak hari itu, saya memulai sebuah perjalanan pencarian akan makna gereja
yang sebenarnya.
HATI SAYA RESAH KALA
MELIHAT........
Para Pelayan Tuhan
Para hamba Tuhan berebutan mencari pengakuan melalui buah pelayanan (terutama dari atas
mimbar). Banyak sekali orang yang mengukur keberhasilannya dari bagaimana
tanggapan jemaat atas khotbah atau pengajarannya, apakah mendapatkan pujian
atau tidak? Bagaimana respon jemaat atas khotbah tersebut melalui berapa banyak
yang menanggapi “altar call”, berapa banyak yang hadir saat kita berkhotbah,
berapa banyak yang “dilawat atau dijamah” Tuhan (entah menangis atau rebah) dan
lalu membandingkannya dengan kolega kita.
Memiliki gelar pendidikan itu baik-baik saja, tetapi bila hal tersebut menjadi
berhala sangatlah membahayakan. Beberapa rekan mengikuti pendidikan
setinggi-tingginya dengan tujuan mempertajam dan mengenal Tuhan dengan lebih
baik, itu sangat baik. Tetapi ada pula yang hanya sekedar mengejar gelar
pendidikan agar memiliki jabatan yang lebih baik. Bahkan ada pula yang
rela membeli “gelar” dari Sekolah Tinggi
Theologia tertentu yang menjual gelar kesarjanaan tanpa perlu mengikuti
pendidikan itu sendiri atau membeli gelar “Doctor Honorer Causa” dengan harga
tertentu. Saya sendiri pun pernah paling tidak tiga kali ditawari untuk
mendapatkan gelar bahkan lebih mengejutkan lagi saat orang yang menawarkan
gelar tersebut mengatakan bila saya bisa mendapatkan lima pendeta yang mau
membeli gelar maka saya dapat gelar gratis. “Ya, ampun…sangat menyedihkan.”
Saat ukuran besar gedung ibadah,
jumlah anggota gereja, jumlah persembahan dan perpuluhan menjadi salah satu
patok ukuran keberhasilan seorang gembala sidang. “Gereja” yang sudah memiliki
IMB, jumlah jemaatnya sudah lebih dari 1000 dan memiliki persembahan-perpuluhan
mencapai ratusan juta perbulan bahkan miliar sebagai tanda gereja yang disertai
dan diberkati Tuhan sedang gereja yang tidak punya tempat ibadah, anggotanya
sedikit dan persembahannya sedikit seolah hidup di bawah kutuk dan harus
belajar pada “big brothers” bagaimana dapat menjadi sukses seperti mereka.
Ada banyak pelayan Tuhan
ditahbiskan karena memang memiliki panggilan tertentu dalam kehidupannya tetapi
ada juga yang menghendaki jabatan
gereja sebagai suatu kebanggaan pribadi dan ingin memiliki kuasa atas
orang lain. Ada juga yang rendah diri dan beranggapan bahwa dengan memiliki
gelar kependetaan, ia menjadi “seseorang”. Ia merasa di dunia sekuler bukan
siapa-siapa, jadi ia coba menjadi “seseorang” di dunia rohani. .......”pride” alias kesombongan rohani.
Ada pula orang melayani di gereja sebab sulit dapat pekerjaan
sekuler hingga mereka melihat
kependetaan sebagai “another job opportunity” (lahan pekerjaan
alternatif). Ada lagi yang lebih parah sebab melihat gereja sebagai
“perusahaan rohani” yang bebas pajak. Banyak pengusaha beralih profesi
menjadi pendeta akibat alasan tersebut (tidak semua pengusaha yang jadi pendeta
tetapi ada oknum-oknum tertentu yang seperti itu). Orang melayani karena berapa besar upah yg didapatkan. Ada beberapa
orang percaya yang meninggalkan pekerjaan sebelumnya dan menjadi pendeta karena
tergiur melihat kehidupan beberapa “pendeta selebritis” yang memiliki pendapatan
tinggi, hidup dalam kemewahan dan memiliki pengikut yang banyak.
Para pelayan Tuhan berebutan ingin menjadi “pemimpin” karena ambisi
pribadi dan memiliki pengaruh pada pengikutnya, menimbulkan perpecahan, menimbulkan politik dan “partai-partai” dalam gereja. Banyak mega church (gereja
berjumlah sangat besar), pecah akibat adanya “pembelotan” atau “pemberontakan”
terhadap kebijakan “senior pastor” (gembala sidang).
Para pelayan Tuhan mengkorupsi uang gereja atau pelayanan. Baru-baru ini Dinas Pajak
di Amerika Serikat memeriksa beberapa pelayan Tuhan terkenal di negeri tersebut
sebab menggunakan uang pelayanan untuk kepentingan pribadi dengan membeli rumah
mewah, lukisan mahal, perabotan rumah tangga berharga selangit dan
lain-lainnya. Uang yang disumbangkan untuk memperlebar Kerajaan Tuhan ternyata
dipergunakan untuk memperkaya diri dan memperluas properti pribadi.
Ada pula pelayan Tuhan yang tidak
peduli sama sekali terhadap kesulitan rekan pelayan Tuhan lainnya. Bukan
membantu saudaranya yang lemah, mereka menyatakan bahwa rekan pelayan Tuhan
tersebut hidup dalam dosa dan kutuk. Ada sebuah kesaksian yang saya sendiri
saksikan dan alami.
Suatu kali saya melayani beberapa
orang pendeta dari daerah yang baru saja mengikuti Kongres Sinode dan lalu kehabisan
dana untuk kembali ke pulau dari mana mereka berasal. Letak gereja kami
berdekatan dengan pelabuhan Tanjung Perak Surabaya hingga banyak pendeta dari
denominasi dimana saya melayani saat itu, biasanya mampir untuk menginap di
pastori gereja yang sederhana untuk menantikan keberangkatan kapal ke daerah
asal mereka. Karena mereka kehabisan dana, mereka meminta saya untuk
mengantarkan mereka ke salah satu gereja besar dari denominasi yang sama untuk
meminta bantuan.
Sesampai disana saya membawa mereka
bertemu dengan gembala sidang setempat tetapi beliau tidak mau diganggu dan
meminta saya untuk membawa rekan-rekan ini ke ruang diakonia. Sesampai di
ruangan tersebut, ketua diakonia memberikan “ceramah” bagaimana hidup
diberkati, hidup dengan karunia iman dan terlepas dari kutuk kemiskinan selama
hampir 45 menit….setelah itu ia menyampaikan bahwa kas gereja mereka pun sedang
kosong sebab sudah banyak membantu jemaat….sambil ia memainkan cincin bermata
berlian di jarinya (saat ia berbicara mata saya tertuju pada beberapa cincin
emas dijarinya yang nampak “bling bling”).
Lalu ia meminta para pendeta desa
ini untuk pergi ke ruang doa untuk berdoa pada Tuhan agar Ia membuka jalan dan
memberikan dana untuk pembelian tiket kapal. Sementara itu saya masih tetap ada
di ruang diakonia, sang pimpinan meminta salah satu stafnya untuk mencek harga
tiket kapal kelas ekonomi menuju daerah tujuan para pendeta itu. Kulihat staf
yang lain mengambil sejumlah uang yang segera dimasukkan ke dalam beberapa
amplop terpisah. Ketua diakonia itu lalu berbicara pada saya,”Mas, kita perlu
berhikmat bila hendak menolong orang lain, agar mereka tidak memiliki
mentalitas peminta-minta. Nanti setiap ke Jawa mereka selalu mampir dan minta
pada kita.” Saya hanya tersenyum saja mendengar perkataan beliau.
Saya melihat rekan-rekan pendeta
dari desa ini dengan polos dan tulus berdoa pada Tuhan, setelah kurang lebih
dua jam berlalu....staf diakonia datang dan memanggil mereka. Mereka kembali ke
ruang diakonia, disambut oleh ketua diakonia yang tersenyum lebar dan
berkata,”Puji Tuhan, Ia baru saja buka jalan dan ini dana yang Anda sekalian
perlukan untuk biaya pulang.” Mereka bersukacita sebab kini mereka dapat
pulang, saya pun gembira, kini mereka dapat kembali bertemu keluarga dan jemaat mereka. Tapi saya sedih sekali melihat
skenario kejadian itu.
Di lain pihak ada pula yang hanya mempedulikan rekan-rekan sesama organisasi gerejanya, di
luar organisasinya bukan tubuh Kristus katanya..duh celaka
sekali. Kadang tanpa sadar kita tercemar oleh nila-nilai sekuler, gereja
diibaratkan perusahaan. Kondisi gereja kita saat ini dapat digambarkan seperti
perusahaan, selama kita bagian dari sebuah “perusahaan besar” maka kita akan
mendapatkan santunan dan bantuan tetapi bila kita dari “perusahaan lain” maka
kita tak akan mendapat santunan apalagi bantuan. Bila perusahaan lain tersebut
mau mendapatkan bantuan maka yang diperlukan adalah ia harus merger dengan
perusahaan besar tersebut. Maka dapat dipastikan setelah merger perusahaan
tersebut telah menjadi bagian dalam “perusahaan besar” maka akan dapat bantuan
dan santunan yang dibutuhkan dan harapkan.
Belum lagi ada oknum yang hanya mau melayani di gereja dengan
jumlah jemaat tertentu, bila kurang dari targetnya dia tidak mau
melayani di sana, kecuali “persembahan kasih”nya besar. Suatu kali di masa awal pelayanan saya kala itu Bapak Gembala
meminta saya untuk mengundang seorang pembicara tamu untuk mengisi jadwal
khotbah. Setelah beberapa saat berbincang dengan pengkhotbah tersebut melalui
pesawat telpon, beliau pun lalu bertanya berapa kali ibadah yang akan beliau
isi dan jumlah jemaat gereja kami berapa orang. Setelah mendengar bahwa gereja
kami mengadakan 4 kali ibadah hari Minggu dan jemaat ada sekitar 2500 orang
totalnya maka beliau memberikan komentar,”Hmm…bagus…bagus, kalau begitu cocok
dengan kriteria saya.” Saya saat itu sempat terheran dengan sikap senior saya
tersebut. “Mau melayani kok tanya jumlah jemaat dan berapa kali ibadah mengisi
khotbahnya.” Rupanya banyak juga pelayan Tuhan yang kalkulasi dapat berapa
“persembahan kasihnya”.
Dalam kisah lain, seorang sahabat
saya di Jakarta beberapa waktu lalu menjadi bagian dari suatu panitia yang
mengundang seorang pengkhotbah dan penulis buku terkenal berskala
internasional, yang biasa mengadakan acara KKR dan seminar besar-besaran. Acara
yang digadang-gadang sebagai acara akbar itu sebenarnya berjalan dengan sukses
namun tidak mendatangkan jumlah massa yang diharapkan oleh “sang pembicara”
hingga beliau ini merasa kecewa terhadap kinerja panitia tersebut. Beliau
meminta bila ada yang mengundang ke Indonesia, agar tim panitianya orang
pilihan baru dan bukan kepanitiaan yang sebelumnya.
Oknum lain memberikan ketentuan bagi
tiap orang yang mengundang harus memberikan DP terlebih dulu,
bila batal maka DP pun hangus. Ketika saya bertanya pada senior saya mengapa,
ia melakukan hal tersebut, ia menyatakan bahwa,” Kita sebagai pelayan Tuhan pun
harus profesional dalam bekerja termasuk dalam masalah pembayaran fee….dulu
setahu saya namanya persembahan kasih…sekarang jadi fee ya? Saya sampai heran
dasar ayat yang digunakan untuk tindakan ini…ayat apa ya?
Ada pula yang meminta salah satu syarat bila mengundangnya harus ditempatkan di hotel terbaik di tempat tersebut dan tidak mau di rumah jemaat atau
pastori, alasannya agar lebih tenang mempersiapkan firman Tuhan.
Ada pula pemimpin Kristiani dengan mentalitas suhu Shaolin yang tidak mau memuridkan jemaat karena
takut bisa disaingi. Tuhan memberikan tugas pada kita untuk memuridkan
bangsa-bangsa tetapi di sisi lain ada banyak pelayan Tuhan, yang takut jemaat
menjadi lebih pintar dari dirinya dan tidak membutuhkan dirinya. Ada pelayan
Tuhan yang senang bila jemaat bergantung pada dirinya dan bukannya bertumbuh
dewasa dan bertumbuh dalam Tuhan. Bila pun ia mengajar, ia tidak mengajarkan
semua yang ia ketahui. Persis suhu Shaolin yang memiliki 10 jurus maut, dan ia
hanya mengajarkan 9 jurus saja agar muridnya tidak bisa mengalahkan dia bila
memberontak terhadap “perguruan”.
HATI SAYA RESAH KALA
MELIHAT........
Jemaat Tuhan
Orang-orang hanya suka
mendengar khotbah tetapi tidak mau dimuridkan. Mereka memiliki pendeta
favorit bila pendeta tersebut ada di kotanya atau negaranya, mereka ibarat
“para groupies” (fans berat sebuah grup band/penyanyi tertentu). Kemana dan
dimana pun ia berada akan dikejar dan menghadiri setiap pertemuan mereka.
Mereka senang berdekatan dengan “pendeta favorit”nya, mendengarkan apa yang
disampaikan, mereka dipuaskan secara intelejensi, sayangnya kebanyakan hanya
sampai disitu. Mereka senang mendengar “hal-hal baru dari Tuhan” tetapi tidak
mau melakukannya.
Orang-orang hanya melihat
“pergi ke gereja” sebagai sebuah aktivitas keagamaan belaka. Bahkan memiliki “kepribadian ganda” kehidupan saat di dalam ruang ibadah
nampak suci sekali dengan kosa kata yang tertata rapih dan mulia tetapi saat
sudah keluar lingkungan “gereja”, sikap dan perbendaharaan katanya berubah
menjadi “kebun binatang”. Ada guyonan kalau di dalam gereja dipimpin Roh Kudus,
di luar gereja dipimpin “roh kuda”, tertib di lingkungan gereja tetapi di luar
area menjadi liar.
Orang-orang taat
“beragama” tetapi tidak memiliki hubungan intim dengan Tuhan. Hampir
setiap hari muncul dalam ibadah atau program yang disusun oleh pihak gereja
tetapi hanya sekedar aktif saja tanpa memiliki hubungan secara pribadi dengan
Tuhan. Mereka berpikir dengan kesetiaan mengikuti ibadah dan aktif maka berkat dan janji Tuhan secara
otomatis terjadi dalam hidupnya. Mereka tidak mau mentaati Tuhan dan egois, mereka mau mentaati firman
Tuhan yang kira-kira mudah tetapi yang dirasakan berat mereka tidak mau
melakukan atau mentaatinya. Tuhan
hanya seolah sebagai agen asuransi “Escape
from Hell” agar tidak “terbakar
kekal di neraka” bagi mereka.
Pokoknya sudah terima Tuhan Yesus pasti selamat, itu yang ada dalam benak
mereka, dan mereka kembali ke dalam tabiat hidup mereka yang lama. Tuhan bukan Jinny on the bottle (jin dalam botol) yang
harus menuruti setiap permintaan kita. IA juga bukan pesuruh atau satpam, saat
kita berdoa agar IA menjaga aset usaha, rumah atau kendaraan kita.
Orang-orang kurang peduli terhadap sesama manusia,
jangankan terhadap orang yang belum percaya, terhadap “saudara seiman”nya saja
banyak sekali yang kurang peduli. Meski kita menyanyikan lagu indah bertema
bahwa kita ini saudara seiman – keluarga
Allah sambil bergandengan tangan dan tersenyum pada orang di sebelah
kita tetapi tanpa tindakan nyata hal itu hanyalah kepalsuan yang memuakkan di
mata Tuhan. Kalau kita tidak peduli
terhadap saudara seiman dalam komunitas atau “gereja” yang setiap Minggu kita
bertemu, bagaimana kita dapat mempedulikan mereka yang belum mengenal Tuhan?
Kita tidak menjadi terang dan garam,
sebagaimana yang Tuhan kehendaki. Rata-rata jemaat kini hanya menjadi
penonton dalam gereja, jika mereka merasa terusik dengan mudah mereka
pindah….mungkin bosan dengan khotbah pendetanya yang itu-itu saja..atau jenuh
sebab lagu pujiannya tidak mengikuti Top 40 The Best Worship Song (40 lagu
terbaik terpopuler)…atau di gereja lain sedang ada aktivitas baru yang menarik.
Ada pula yang berpindah gereja
bila ada bantuan diakonia yang jauh lebih menarik dari gerejanya yang
terdahulu. Bahkan saya pernah menemukan ada anggota jemaat yang memiliki list
jadwal pembagian sembako dari berbagai organisasi gereja dan persekutuan, ia
tahu gereja mana yang memberikan beasiswa bagi orang kurang mampu, memberikan
pekerjaan bagi menganggur, dstnya…ia menyatakan hidupnya tergantung pada
“gereja Tuhan”, sebab itu ia “maha hadir” dalam tiap kegiatan gereja dan
persekutuan yang dapat menguntungkan atau menghidupinya.
Bila gereja mengajarkan tentang
misi dan pengutusan, tidak ada yang
mau diutus. Bila pun ada, kebanyakan mau diutus ke kota besar atau negara-negara
yang mapan. Itu yang sering saya saksikan setiap kali diadakan tantangan untuk
menyerahkan hidup melayani mereka yang terhilang dan belum mengenal Tuhan. Jadi
jangan bicarakan tentang suku terabaikan atau terpencil atau negara-negara di
jendela 10/40 (negara-negara yang berlatarbelakang agama mayoritas non Kristen).
Sepertinya kini tipis antara pengutusan misi dengan pergi wisata atau antara
menjadi misionaris dan wisatawan saat ini. Ketika yang memberi diri untuk
diutus memilih untuk pergi ke Los Angeles, Hollywood, Washington, Hawaii, Wina,
Amsterdam, Berlin, Tokyo, Seoul, dan kota-kota metropolitan dunia lainnya.
Jemaat tidak mau berkorban, Tuhan
Yesus berkorban bagi kita…..kita mengaku sebagai anakNya tetapi DNA-Nya tidak
tampak. Bila kita anakNya maka secara natural kita juga rela berkorban bagi
Dia. Jangan berkorban nyawa sebagai martir, harta benda atau uang saja kita
masih hitung-hitungan dengan Tuhan. Bila pun berkorban itu dengan “motivasi investasi”, berharap Tuhan
melipatgandakan apa yang telah ia berikan bagi pekerjaan Tuhan. Bila yang
diharapkan tidak terwujud maka mereka akan segera mengeluarkan data berapa
banyak yang telah mereka investasikan dalam Kerajaan Allah.
Jemaat kompromi dengan dosa, mereka lebih suka
menjadi penonton dan pendengar firman Tuhan tetapi enggan menjadi pelaku
kebenaran. Mereka lebih suka menjadi orang Kristen cek-list. Apakah Kristen
cek-list? Kristen cek-list adalah mereka yang mengukur kekristenannya dari
keaktifannya menghadiri ibadah hari Minggu dan aktivitas program gereja
lainnya, pemberian persembahan & perpuluhan, doa “agamawi” setiap pagi
disertai pembacaan Alkitab dan bilamana hal itu sudah dikerjakan maka mereka
sudah merasa menjadi seorang Kristen yang saleh dan taat. Mereka mengaku,”I’m a good Christian”. (Saya seorang
Kristen yang baik).
Jemaat tidak mau menjadi murid Kristus dengan memikul salib setiap hari, bila dalam
tingkatan ini saja mereka enggan apalagi untuk memikul tanggungjawab memuridkan
orang lain? Ini salah siapa?
Sedih hati saya melihat ini semua terjadi dalam gereja Tuhan yang mayoritas
suam-suam di Indonesia atau bahkan dunia….entahlah. Sedih melihat tingkah laku rekan sejawat saya
selaku pendeta bukannya menjadi teladan hidup malah menjadi sandungan. Sedih
pula melihat jemaat yang hidup egois dan tak peduli Tuhan, sesama
saudara seiman apalagi mereka yang belum mengenal Tuhan Yesus. Sedih melihat gereja tak ubahnya sebuah
perusahaan entertainment rohani dewasa ini.
Apakah ini gereja, mempelai
Kristus? Sudah siapkah kita menyambut kedatanganNya? Jangan sampai kala IA
datang kita belum siap. Saat IA datang kita masih mengenakan rol rambut, masker
wajah berwarna hijau dan daster yang sudah satu bulan belum ganti..super jorok
dan sama sekali tidak siap untuk acara prosesi pernikahan dengan Anak Domba
Allah. Atau jauh lebih lagi mungkin secara rohani kita masih seperti seorang
bayi yang masih mengenakan popok dan dot di mulut. Jadi bersiaplah!!!!!
BERSAMBUNG KE BAGIAN 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar