“GEREJA DALAM BENAK SAYA DULU”
Keluarga besar saya termasuk
keluarga yang taat beragama dan menghadiri ibadah gereja setiap Minggu,
terlebih keluarga Oma Buyut saya adalah salah satu majelis terpandang di gereja
yang sudah berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Saya teringat ketika diajarkan
bahwa gereja merupakan gedung tempat suci dimana kita menjumpai Tuhan. Gedung
gereja kami sangatlah artistik dan kuno dengan perlengkapan alat musik orgel
(semacam organ zaman dahulu menggunakan pipa-pipa). Tempat tersebut suci maka
kita harus berpakaian yang sopan dan terbaik, kita harus beretika seperti bila
kita menghadap Presiden, sebab Tuhan kita, Raja di atas segala raja. Kita tidak
boleh ribut, harus duduk rapih dan diam apalagi saat firman Tuhan atau khotbah.
Dimana saya diajarkan Tuhan sedang berbicara melalui hambaNya, yaitu Bapak atau
Ibu Pendeta. Sebagai seorang anak kecil pada saat itu, terus terang saya tidak
menikmati kegiatan ibadah umum tersebut. Saya merasakan tiga jam ibadah yang
menyiksa, karena saya harus banyak diam dan duduk “membeku” kalau tidak mata
Mama atau orang di sekeliling saya akan melotot seolah saya sudah melakukan
dosa yang tak terampuni. Hal yang mungkin melegakan saya adalah saat Bapak
Pendeta mengucapkan doa berkat penutup dan lalu bernyanyi,”Amien….Amien…Amien.”
Wah, langsung dada saya plong dan berkata dalam hati,”Akhirnya selesai juga.”
Rutinitas beribadah ke gereja setiap Minggu pagi pada saat itu merupakan
rutinitas paling membosankan bagi diri saya tetapi saya diajarkan bahwa itulah
hidup kekristenan dan tanda kesetiaan saya pada Tuhan Yesus.
Saat saya kecil, Mama sering
membawa saya ke toko buku Kristen, satu-satunya di kota Bandung saya rasa pada
masa itu, Kalam Hidup. Di toko buku tersebut, saya membeli literatur buku
cerita bergambar tentang Alkitab (yang sangat terbatas pada masa itu), saya
paling menyukai tokoh Tuhan Yesus. Saya sangat mengagumi Tuhan saya, Yesus Kristus.
Bagaimana Ia begitu mudah di dekati bahkan Ia menerima anak-anak kecil untuk
duduk dipangkuanNya kala Ia tengah mengajar umat Tuhan. Timbul pertanyaan dalam
benak saya, kalau Tuhan begitu mudah didekati mengapa sangat sulit untuk
mendekati Pendeta? Bahkan saat Ia mengajar anak-anak ada di sekitarNya, apakah
mereka juga harus duduk diam seperti saya saat berada di tempat ibadah atau
mereka bertingkah sebagaimana anak-anak pada umumnya? Saya melihat bahwa
anak-anak merasa aman dan nyaman untuk mendekati Tuhan Yesus sedang saya
melihat anak-anak di gereja termasuk saya ketika itu, memiliki perasaan yang
sebaliknya terhadap pendeta kami, melihat pendeta mengenakan jubah hitam besar
dan wajahnya yang tegang, serius dan sedikit senyum membuat kami sebagai “kaum
anak” merasa ikut tegang dan takut. Terkadang kami sudah mengulurkan tangan
untuk bersalaman, Bapak pendeta tidak memberi salam pada kami sebab matanya
tertuju pada Oom atau Tante yang ada di belakang kami, sedang kami begitu kecil
dan terlewatkan. Hingga timbul persepsi dalam benak saya dulu bahwa sebagai
anak kecil kami ini tidak berharga. Bila saya tanya pada Mama, mengapa Bapak
Pendeta tidak mau menerima salam saya, Mama pun hanya diam seribu bahasa
(mungkin Mama pun tak tahu cara untuk menerangkannya). Hingga akhirnya saya pun
menjadi malas untuk bertanya dan beranggapan memang seperti itulah gereja.
Pada saat yang lain, anggota
keluarga saya akan mengikuti sakramen baptisan (denominasi gereja kami
mempercayai baptisan anak). Saya melihat anak-anak dari keluarga besar saya
akan mengikuti baptisan, maka saya pun berbicara pada Mama bahwa saya pun ingin
dibaptis. Tetapi Mama berkata,”Maaf Dave, kamu belum boleh dibaptis.” Dengan wajah penuh keheranan saya pun bertanya,”Kenapa
ga boleh,Ma…itu si A dan si B kok boleh?” Mama menghela napasnya dan dengan
nada yang berat menyampaikan,”Dave, karena Mama belum menikah dan diberkati
oleh gereja maka kamu ga bisa dibaptis.” Hati saya sedih, terluka dan tertolak
saat melihat saudara-saudara saya dibaptis pada pagi itu.
(Kesaksian: Mama saya sempat
terkena bujuk rayu kekasihnya untuk melakukan “hal terlarang” dalam masa
berpacaran hingga akhirnya mama saya hamil melahirkan diri saya di luar lembaga
pernikahan dan pria tersebut lari dari tanggungjawabnya)
Hal tersebut memukul batin Dave
kecil saat itu, saya merasa bahwa Tuhan dan gereja menolak diri saya sebab saya
terlahir ke dunia ini bukan dari lembaga pernikahan yang sah dan sempurna. Saya
merasa “anak yang cacat” di mata gereja dan Tuhan. Sayangnya Mama maupun pihak
gereja tidak menyadari hal tersebut. Hingga timbul dalam benak Dave kecil saat
itu, bila gereja atau Tuhan menolak saya untuk apa saya melibatkan diri dalam
kegiatan atau ritual ibadah yang membosankan ini? Mulai saat itu saya membuat
seribu satu alasan agar saya tak perlu pergi ke gereja. Kalau pun saya
“dipaksa” ikut, saya banyak mangkir ke toilet…..dan ternyata banyak sekali
Oom-Oom terkasih di sana menghisap rokok sambil mengobrol menantikan khotbah
atau doa syafaat berakhir….mereka pun ternyata bosan berada di dalam. Bertambahlah
kuat dalam benak saya persepsi bahwa gereja adalah tempat paling membosankan di
muka bumi.
Pengalaman masa kecil membuat
saya bertumbuh sebagai remaja yang memberontak dan terlibat dalam dunia hitam
di jalanan. Hanya oleh kasih karunia Tuhan saja, Ia membawa saya kembali ke
dalam pelukanNya.
Saat saya bertobat dalam salah
satu acara Kebaktian Kebangunan Rohani di kota Bandung. Saya pun mengalami
kesulitan saat sudah bertobat dan kembali ke pelukan Tuhan Yesus. Saya mengalami
banyak penolakan “hanya” akibat cara saya berpakaian kala beribadah. Orang
sangat antipati sebab saya berambut gondrong, mengenakan anting, bercelana
jeans belel dan mengenakan t-shirt warna hitam. Semua pandangan mata penuh
curiga, seorang Tante yang duduk disebelah saya selama ibadah terus memegang
tasnya dan menatap dengan penuh curiga. Bukan karena saya tidak mau “berpakaian
sopan” hanya saja selama 12 tahun hidup sebagai anak geng di jalanan, saya tak
punya celana kain ataupun kemeja. Namun saya pun tak memiliki ruang untuk
memberikan penjelasan sebab tak ada seorang pun yang bertanya. Apakah Tuhan
Yesus hanya menerima orang yang berpakaian rapih dan sopan? Apakah Tuhan tidak
tahu masalah kami yang berasal “dari jalanan”? Kembali pertanyaan ini menggelayuti
pemikiran saya. Hampir saja saya menyerah akibat penolakan pihak gereja pada
saat itu, sampai saya berdoa dan Tuhan berbicara melalui hati nurani
saya,”Dave, bila kau terus memandang manusia atau organisasi gereja maka kau
akan kecewa. Sebab itu “hanya” fokus padaKU sebab AKU tak akan menolakmu.”
Sebagai orang awam saat itu saya
berpandangan bahwa gereja merupakan tempat suci hanya bagi orang-orang yang
“kudus” dan mengikuti budaya gereja tersebut (cara berpakaian, berbicara,
bersikap selama ibadah), tidak ada tempat bagi orang yang “berbeda”, saya pun
harus menjadi sempurna dengan mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan
entah itu alkitabiah atau hanya bagian dari tradisi pendiri organisasi
tersebut. Mulai saat itulah saya pun mengikuti “budaya” setempat agar dapat
diterima. Saya suka atau tidak diikuti saja “demi Tuhan Yesus”.
Apa yang diajarkan pada saya tentang gereja di Sekolah Alkitab
Saat saya mengikuti Sekolah
Alkitab saya mendapatkan pelajaran mata kuliah Pertumbuhan Gereja. Kami sebagai
mahasiswa diajarkan bahwa setiap hamba Tuhan harus dapat merintis gereja sebab
itu yang Tuhan Yesus kehendaki. Dosen kami (jebolan Sekolah Pertumbuhan Gereja
dari Pendeta David Yonggi Cho di Korea Selatan) mengajarkan bahwa faktor
penyebab pertumbuhan jemaat adalah faktor kelahiran (dalam jemat yang sudah
eksis), lokasi atau tempat ibadah yang strategis dan penginjilan.
Lebih lanjut dosen saya
mengajarkan mengenai betapa pentingnya sebuah gereja mempunyai visi. Ini
merupakan hal pertama yang
harus dimiliki oleh gereja yaitu visi. Ia menyatakan bahwa perkembangan sebuah
jemaat ditentukan oleh Pendetanya. Gereja yang berkembang pesat menjadi mega
church (gereja mega) memiliki pemimpin yang dinamis dan inovatif. Pemimpin
gereja yang dinamis memiliki iman, visi dan rencana yang terfokus; pemimpin
model ini akan dengan mudah mempengaruhi kehidupan seluruh jemaat dan
perkembangan pelayanan yang digembalakan menuju pertumbuhan yang pesat.
Sebagai contoh beliau
menggambarkan apa yang dilakukan oleh Pendeta Yonggi Cho, sebagai pemimpin
beliau memaparkan sasaran-sasaran apa saja yang akan mereka capai setiap
tahunnya. Umpamanya memperluas kompleks gereja, meningkatkan jumlah anggota,
meningkatkan persekutuan sel keluarga, menggencarkan penginjilan dalam segala bentuk
media melalui World Mission Crusade dan meningkatkan serta menguatkan iman
setiap anggota jemaat melalui berbagai pelatihan pembinaan iman dalam gereja.
Hal yang kedua beliau tekankan adalah kehidupan doa bahwa
doa dapat mengubah segala keadaan. Penekanan bahwa setiap gereja harus memiliki
ibadah doa semalam suntuk minimal sekali seminggu tetapi bila hendak berkembang
pesat seperti gereja Yoido Full Gospel yang digembalakan Pdt Yonggi Cho maka
ibadah doa semalam suntuk harus diadakan setiap hari. Setelah itu disusul
ibadah doa pagi setiap hari, dari pukul 04.30 hingga 06.00. Kegiatan ini
diikuti oleh jemaat Pdt Yonggi Cho dengan rajin, ibadah doa ini setiap harinya
dihadiri oleh ribuan orang. Mereka juga memiliki bukit doa yang berada di luar
kota Seoul yang dibuka bagi siapa saja selama 24 jam, yang mau datang untuk
berdoa bagi kemajuan gereja Yoido Full Gospel dan kebutuhan lainnya.
Hal ketiga adalah perlunya gereja memiliki kelompok sel.
Beliau mengajarkan bahwa salah satu kunci sukses pertumbuhan dan pertambahan
jemaat pada gereja Yoido Full Gospel adalah sistem kelompok sel. Beliau
menerangkan bahwa kelompok sel terdiri dari 8 hingga 15 Kepala Keluarga di
suatu wilayah dan pada hari tertentu untuk berdoa, berbakti dan mempelajari
firman Tuhan yang telah disampaikan oleh Gembala Sidang pada ibadah raya.
Dalam kelompok sel ini diadakan
doa bagi mereka yang mempunyai masalah, penyakit dan mencari kepenuhan Roh
Kudus. Sasaran setiap sel adalah melahirkan sel baru lagi setelah jumlah mereka
yang berkumpul lebih dari 15 KK, maka kelompok sel itu harus membelah membentuk
sel baru. Kaum awam dilibatkan dalam pelayanan ini diharapkan mereka menjadi
anggota aktif dan tidak pasif.
Kami diajarkan tujuh hal yang
perlu dihindari terjadi dalam kelompok sel, yaitu bahwa ketua sel harus seorang
pria, ibadah kelompok sel tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan
syukur/acara sejenis ini diadakan terpisah atau setelah ibadah sel, pemimpin
yang tak berkualitas (sebab itu setiap ketua kelompok sel harus mengikuti kelas-kelas
pelatihan, memiliki sertifikat dan didoakan di muka jemaat umum dalam ibadah
raya), dilarang mengundang pengkhotbah tamu (sebab siapa tahu memiliki doktrin
yang berbeda dengan gereja kita dan menyesatkan jemaat), dilarang saling pinjam
meminjam entah barang apalagi uang antar jemaat, tempat ibadah atau rumah harus
yang memadai, dan persembahan harus langsung disetor ke bendahara gereja agar
tidak ada yang menggunakannya.
Kami juga diberikan petunjuk
liturgi ibadah kelompok sel:
-
Doa
-
Pujian
-
Kesaksian
-
Persembahan pujian/pujian
-
Persembahan/kolekte
-
Firman Tuhan
-
Doa bagi masalah, penyakit dan kepenuhan Roh Kudus
-
Doa penutup
Sedang cara memulai sebuah
kelompok sel adalah dengan mencari tempat yang besar dan cukup strategis (orang
yang bersedia rumahnya digunakan), diumumkan melalui buletin gereja dan juga
mimbar gereja pada ibadah raya, memilih dan menetapkan pemimpin, dimulai dari
anggota keluarga sendiri dan menyusun target untuk mengundang 15 KK di luar
jemaat organisasi gereja kita sampai target itu tercapai dan lalu membelah
menjadi sel yang baru.
Hal keempat, gereja harus memiliki program missi. Gereja
harus terlibat dalam missi dunia, mengirimkan tenaga misionaris menjangkau suku
terabaikan di dalam negeri sendiri maupun negara-negara lain. Gereja yang terlibat
missi pasti diberkati oleh Tuhan Yesus.
Hal kelima, seorang pendeta yang sukses harus memiliki staf
yang memiliki loyalitas terhadap visi global gereja, kharisma dan kemampuan
melayani secara profesional. Mereka harus dapat menjadi “pahlawan” bagi jemaat.
Hal keenam, gereja kita harus bergabung dengan sebuah sinode
yang memiliki struktur organisasi yang baik. Jangan bergabung dengan sinode
dengan struktur yang kaku dan mati sebab akan menghambat pertumbuhan jemaat.
Hal ketujuh, masalah khotbah haruslah yang up to date
(terkini), menggugah iman, memberi motivasi dan menunjukkan rasa simpati serta
beban kebutuhan hidup jemaat. Saat itu kami ditekankan untuk menyampaikan
khotbah yang menekankan rahasia kehidupan; seperti bagaimana hidup sukses, rahasia
hidup sehat & bahagia, jalan keluar dari segala masalah, bagaimana lepas
dari jerat hutang, dan pergumulan hidup dan yang sejenisnya. Diharapkan ketika
jemaat merasa kebutuhan hidupnya terjawab melalui khotbah kita maka mereka pun
akan membawa orang lain masuk dalam jemaat kita. Hingga terjadi pertumbuhan
dalam jemaat akibat khotbah kita yang tepat sasaran.
Di akhir mata kuliah ini, dosen
saya juga memberikan 7 rahasia pertumbuhan dari gereja Crystal Cathedral yang
digembalakan Pendeta Robert Schuller di Amerika Serikat:
-
Gereja harus berada-ada di tengah masyarakat.
-
Memiliki tempat parkir yang luas.
-
Mudah dicapai dan strategis lokasinya.
-
Kebaktiannya harus hidup, menarik dan mengena pada
kebutuhan jemaat.
-
Pemikiran positif dan motivasi yang disampaikan melalui
khotbah
-
Jangan takut berhutang untuk membangun gereja (gedung
ibadah)
-
Pemasaran/propaganda gereja dengan memperkenalkan
pelayanan gereja kita melalui masmedia dan program apa saja yang dikerjakan.
Sejak saat itu buku-buku mengenai
cara penanaman gereja dari para pendeta mega church, rahasia kebangunan rohani
dan cara menjadi pendeta sukses menjadi lalapan saya. Bahkan buku-buku bacaan
rohani tersebut menjadi lebih penting daripada Alkitab itu sendiri tanpa saya
menyadarinya. Bukannya mencari blue print dari Tuhan, saya mencari rumus
kesuksesan gereja dari rekan-rekan pendeta….saya coba mengikuti blue print
mereka.
Gereja dalam pandangan saya saat
itu lebih pada sebuah tempat atau gedung yang harus terus menerus dirawat dan
dibangun, memiliki program terpadu, harus menyampaikan khotbah pengajaran yang
menjawab kebutuhan dan kedahagaan jemaat, dan membesarkan jumlah anggota.
Ukuran keberhasilan saya saat itu adalah dari betapa megahnya gedung gereja
yang kami dirikan, berapa banyak jumlah anggota jemaat kami, berapa banyak
perpuluhan dan persembahan yang kami dapatkan, padatnya jadwal khotbah kita
baik di dalam maupun luar jemaat, berapa banyak orang yang mengalami “lawatan
Allah” (tumbang saat didoakan, menangis tersedu, dll), dapat mendirikan sekolah
Alkitab sendiri dan mengutus misionaris menjangkau suku terabaikan. Semuanya
ini menjadi target pelayanan penanaman gereja saya. Saya ingin punya nama besar
dari gereja yang saya rintis di dalam nama Tuhan.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 3.........
BERSAMBUNG KE BAGIAN 3.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar