Gereja merupakan organisme yang hidup dan bukan sekedar organisasi buatan tangan manusia. Gereja harus di mulai di rumah tangga kita masing-masing dan bukan sekedar aktivitas religius belaka namun bagian kehidupan sehari-hari. Gereja harus jadi terang dan garam di luar dinding gedung gereja. Sebab gereja adalah kita
Rabu, 12 Mei 2010
“MENILIK SEJARAH GEREJA MULA-MULA" (E-BOOK BE THE CHURCH)
“MENILIK SEJARAH GEREJA MULA-MULA”
Gereja yang sejati jauh lebih dari sekedar terfokus pada struktur organisasi dan badan hukum maupun masalah anggaran dasar dan rumahtangga.
Matius 28:18-20 Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Gereja Tuhan ditugaskan untuk menjadikan semua bangsa murid Tuhan Yesus. Kita dapat melihat intervensi ilahi sejak awal Tuhan Yesus memberikan Amanat Agung ini, Ia berjanji akan menyertai kita semua sampai akhir zaman dan segala kuasa ada dalam tanganNya.
Kitab Kisah Para Rasul dimulai dengan pertemuan 120 murid Tuhan di sebuah tingkap di Yerusalem dan saat itu mereka mengalami ketakutan. Saat itulah Tuhan Yesus membaptis mereka dengan Roh Kudus sesuai janjiNya sebelum Ia naik ke sorga. Kisah Para Rasul 1:8, ‘Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” Rasa takut itu lenyap dan mereka dipenuhi keberanian untuk mengabarkan Injil. Ketika mereka mengalami kepenuhan Roh Kudus, mereka berubah menjadi saksi Kristus. Saksi di dalam bahasa Yunani adalah martus yang berarti saksi atau martir. Gereja mula-mula zaman para rasul atau murid Kristus dimulai tahun 70-130.
Dalam kurun waktu satu generasi, Injil sudah diberitakan di seluruh Asia Kecil, memasuki Eropa, jemaat-jemaat kecil didirikan di semua kota besar, bahkan Roma yang kala itu merupakan pusat dunia.
Jemaat mula-mula ini bersifat misioner. Mereka self governing (memimpin diri sendiri, mandiri secara kepemimpinan), self supporting (mandiri secara keuangan), self propagating (giat memberitakan Injil) dan self reproducing (berkembang secara natural).
Saat gereja mengalami aniaya yang berat, orang Kristen memulai suatu tradisi menggambar lengkungan di tanah menggunakan kaki atau tongkat mereka. Bila orang di hadapannya menggambar lengkungan kedua yang berlawanan dengan yang pertama hingga membentuk gambar ikan maka mereka berdua tahu bahwa mereka merupakan saudara seiman sehingga mereka dapat bersekutu bersama dengan bebas.
Gereja mula-mula diperlengkapi oleh pelayanan lima jawatan, Efesus 4:11-15 “Dan Ia (Tuhan Yesus)lah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” Mereka pada umumnya berpindah-pindah sesuai pimpinan dan bimbingan Roh Kudus.
Sedangkan pemimpin dalam jemaat mula-mula adalah penatua (penilik) bersama diaken. Ini bukanlah sekedar jabatan tetapi lebih pada fungsi pemimpin sebagai seorang teladan, ayah dan hamba. Dapat dengan jelas kita baca di dalam 1 Timotius 3:1-13 Benarlah perkataan ini: “Orang yang menghendaki jabatan penilik jemaat menginginkan pekerjaan yang indah.” Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah? Janganlah ia seorang yang baru bertobat, agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman Iblis. Hendaklah ia juga mempunyai nama baik di luar jemaat, agar jangan ia digugat orang dan jatuh ke dalam jerat Iblis. Demikian juga diaken-diaken haruslah orang terhormat, jangan bercabang lidah, jangan penggemar anggur, jangan serakah, melainkan orang yang memelihara rahasia iman dalam hati nurani yang suci. Mereka juga harus diuji dahulu, baru ditetapkan dalam pelayanan itu setelah ternyata mereka tak bercacat. Demikian pula isteri-isteri hendaklah orang terhormat, jangan pemfitnah, hendaklah dapat menahan diri dan dapat dipercayai dalam segala hal. Diaken haruslah suami dari satu isteri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik. Karena mereka yang melayani dengan baik beroleh kedudukan yang baik sehingga dalam iman kepada Kristus Yesus mereka dapat bersaksi dengan leluasa.
It’s about character! Kepemimpinan dalam gereja mula-mula menekankan pada ketaatan, karakter dan teladan bagi “keluarga rohani”nya.
Pada abad pertama umat Tuhan bersekutu dan beribadah di rumah masing-masing dan tidak mempunyai gedung ibadah khusus. Mereka beribadah tanpa memakai suatu tata ibadah yang tersusun rapi.
Mereka saling mendoakan, menyembah Tuhan dengan bebas, ada pengajaran, makan bersama, saling menguatkan dan membantu. Mereka terbuka pada pimpinan Roh Kudus, sebagaimana tertulis dalam 1 Korintus 14:26-28 “Jadi bagaimana sekarang, saudara-saudara? Bilamana kamu berkumpul, hendaklah tiap-tiap orang mempersembahkan sesuatu: yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau penyataan Allah, atau karunia bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh, tetapi semuanya itu harus dipergunakan untuk membangun. Jika ada yang berkata-kata dengan bahasa roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang, seorang demi seorang, dan harus ada seorang lain untuk menafsirkannya. Jika tidak ada orang yang dapat menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah.” Demikian pula dalam Efesus 5:18c-21, “tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh, dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati. Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus. Atau sebagaimana kita baca dalam Kisah Para Rasul 2:42-47 Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Maka ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan tanda. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.
Jemaat mula-mula memiliki kekuatan dan keuntungan. Dalam sebuah ibadah di rumah atmosfir yang terbangun adalah suasana kekeluargaan, masing-masing saling mengenal dan lahirnya kepedulian dalam persekutuan lebih nyata.
Dengan pertemuan di rumah, kita dapat menghindari hal-hal yang kurang praktis. Umpamanya masalah pakaian formil yang membuat beberapa orang merasa rendah diri, masalah harus bersikap “hormat dan kudus”,dstnya. Dalam pertemuan di rumah perbedaan di antara lapisan masyarakat dapat lebih mudah diatasi.
Jumlah umat Tuhan yang lebih sedikit memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk berfungsi di dalam ibadah dan bertumbuh secara kerohanian.
Mereka tidak memerlukan dana besar untuk membeli tanah, mendirikan bangunan, pemeliharaan dan izin gedung gereja. Uang persembahan digunakan untuk membangun “gereja” (umat Tuhan) yang membutuhkan, membiayai perjalanan para rasul dan pelayanan lima jawatan yang ada, pekabaran Injil dan pelayanan diakonia(sosial).
Dalam gereja mula-mula (di rumah) pemimpin dan jemaat lebih mudah mengatasi pencobaan. Salah satunya kesombongan rohani menganggap diri sebagai “selebritis rohani”(orang penting) atau kesombongan organisasi. Sebagaimana sering terjadi kini ketika jumlah anggota jemaat bertambah besar dan aset organisasi bernilai milyaran rupiah, karakter pemimpian maupun anggota jemaatnya berubah.
Pengkaderan pemimpin lebih mudah dalam jemaat mula-mula. Menjadi pemimpin pada saat itu lebih menekankan pada fungsi membapai dan melayani sesama bukan sebagai sebuah jabatan bergengsi sebagaimana terjadi dalam gereja modern. Dimana pemimpin gereja lebih mirip CEO sebuah perusahaan mapan dengan gaji besar. Patut disayangkan hal ini terjadi.
Jemaat mula-mula lebih fleksibel, mereka dapat bertemu di rumah bahkan di kuburan bawah tanah (katakombe), di dalam gua atau hutan. Meski coba dihambat mereka merambat semakin dibabat mereka makin mencuat. Jemaat ini sudah teruji sulit untuk dihambat meskipun mengalami penganiayaan berat bahkan dapat dikatakan sadis.
Jemaat mula-mula menekankan setiap anggotanya untuk menjadi pelaku firman Tuhan dan berfungsi memperluas Kerajaan Allah. Jemaat modern lebih suka mendengarkan khotbah, dengan hanya sekedar mendengar saja kita hanya belajar sedikit. 10% dari apa yang kita dengar sajalah yang masih kita ingat dalam tempo 3 hari. Bandingkan dengan jemaat mula-mula yang bukan saja melakukannya tetapi juga mengajarkannya pada murid atau orang percaya lain, 90% apa yang mereka dapatkan menjadi bagian dalam kehidupan mereka.
Jemaat mula-mula memberitakan Injil secara natural, semua orang terlibat dalam pelebaran Kerajaan Allah dan dalam hal menghasilkan murid bukan semata tugas para rasul saja. Bandingkan dengan gereja modern kita yang menitikberatkan tugas pelayanan atau pekerjaan Tuhan hanya pada sekelompok rohaniwan. Lingkup memenangkan jiwa baru dan menanam gereja baru pun kini dikerjakan oleh “pasukan elit rohaniwan” yang kita kenal sebagai penginjil dan misionaris. Tidak heran kini gereja “mandul”.
SAAT TERJADI DEGRADASI DALAM GEREJA
Gereja mula-mula secara alamiah bertemu dari rumah ke rumah, biasanya mereka berkumpul dalam sebuah ruangan yang cukup besar di salah satu jemaat. Para ahli sejarah gereja sepakat bahwa jumlah mereka berkisar 15-20 orang. Ketika jumlah mereka membesar, otomatis mereka akan memulai kelompok baru di rumah jemaat yang lain. Jika tidak maka dapat dipastikan akan timbul masalah. Origen, dalam khotbahnya di gereja rumah di Kaisarea mengatakan,”Orang-orang yang bersembunyi dalam jumlah besar biasanya memiliki kisah yang mengenaskan.”
Pada tahun 95, Rasul Yohanes meninggal di Efesus, ia merupakan rasul dan murid Tuhan Yesus terakhir yang meninggal dunia sedangkan yang lainnya telah mati sebagai martir. Sejak saat itulah perlahan-lahan “gereja mula-mula” mulai memudar sinar dan pengaruhnya. Tahun 100 baptisan Roh Kudus hilang dari pengajaran gereja, disusul dengan hilangnya pengajaran tentang penumpangan tangan dan nubuatan pada tahun130. Tahun 160, kepemimpinan jamak (kepenatuaan) digantikan dengan sistem keuskupan. Lebih celaka lagi tahun 180 muncul denominasi pertama (denominasi berasal dari kata Denome = the name artinya nama), tanpa sadar roh Babel (Kejadian 11:1-9) menyelusup ke dalam gereja Tuhan sepeninggal Yohanes, membuat umat Tuhan mulai terpecah belah dan kesatuan lokal dalam sebuah kota hilang dari gereja. Tahun 185 baptisan orang percaya hilang dan tahun 210 keimamatan orang percaya mulai digantikan imam-imam profesional. Dan tahun 225 spontanitas dalam pertemuan ibadah lenyap.
Tahun 300, gereja kehilangan pengajaran kekudusan dalam keluarga dan para imam dilarang menikah mulai saat itu. Kekristenan yang tadinya menekankan kekuatan pada hubungan (relation) terhadap Tuhan dan sesama saudara seiman, kini mulai terjebak pada keagamawian (religion) yang menekankan pada upaya manusia berbuat kebajikan terhadap Tuhan dan sesama. Ketaatan bukan karena kasih (dengan rela hati) tetapi hukum (dengan berat hati).
Gereja mula-mula makin melemah, sekitar tahun 311-313 pemerintah Romawi mengeluarkan Edik (dekrit) Milano dimana kekristenan menjadi salah satu agama di antara agama-agama lain (diakui resmi). Seiring bertobatnya kaisar Konstantin dan menjadi Kristen pada tahun 312. Hingga sejak itu tidak ada lagi penganiayaan terhadap orang Kristen. Tetapi sejak saat itu pula orang Kristen mulai beribadah di gedung ibadah yang disediakan pemerintah Romawi. Dilayani oleh kaum rohaniwan yang akan memimpin semua acara keagamaan seperti pemberkatan nikah, baptisan air, pentahbisan “imam” dan kegiatan keagamaan lainnya.
Pada masa itu negara memberi kuasa bagi para “imam” untuk menekan mereka yang tidak taat kepada peraturan yang ada. Mereka yang tidak mau taat akan menghadapi konsekwensi dibunuh atau dihukum jika melanggar peraturan kerohanian dan standar-standar yang telah ditetapkan. Gereja sudah menjadi tawar dan padam kala itu. Pada masa itu gereja hidup berdampingan dan kompromi dengan agama-agama palsu.
Kurang lebih tahun 320, permulaan sebuah kebiasaan baru dengan menggunakan lilin di dalam kebaktian dan berdirinya biara pertama yang didirikan oleh Pachomius di Mesir. Tadinya “gereja” mendapatkan amanat dari Tuhan untuk berfungsi sebagai garam dan terang di tengah masyarakat tetapi kini “gereja” menarik diri dari tempatnya. Gereja mengasingkan diri dari dunia yang gelap kala biara berdiri. Kelompok orang percaya yang seharusnya menjadi teladan dalam masyarakat kini mengasingkan diri demi menjaga kekudusan, punya waktu lebih dengan Tuhan, dll. Tujuannya baik, idenya baik tetapi tidak semua tujuan dan ide baik berasal dari Tuhan. (Good destiny and good idea are not always God’s destiny and idea)
Setahun kemudian 321, hari Minggu ditetapkan sebagai hari raya kudus di seluruh wilayah kekaisaran Romawi. Dan sejak tahun 336, perayaan Natal ditetapkan sebagai hari suci umat Kristen di Roma. 25 Desember atau Natal sebelumnya adalah perayaan hari lahirnya Dewa Matahari dimana diubah sebagai perayaan hari lahirnya Tuhan Yesus pada saat itu. Pada tahun 350 mulai muncul prinsip amal sebagai pengganti pengajaran keselamatan adalah kasih karunia Tuhan melalui pengorbanan Kristus di kayu salib.
Tahun 380 keluarlah Edik (dekrit) Theodosius 1 Agung yang menyatakan kekristenan sebagai agama satu-satunya dalam kekaisaran Romawi. Edik atau dekrit ini diberlakukan di seluruh kekaisaran Romawi pada tahun 392. Gereja mulai berkompromi dengan kekafiran, gereja lebih mengutamakan gedung sebagai tempat suci, berdoa pada patung, mimbar atau altar, beragam atribut hingga menjadikan doa sebagai mantra. Inilah awal yang saya namakan “kecelakaan gereja”. Setiap warga Romawi dipaksa menjadi anggota gereja dan harus percaya kepada “Lex Dei” yaitu hukum iman. Segala kelompok dan gerakan, termasuk orang Kristen yang berkumpul di rumah dilarang bertemu. Beribadah di rumah menjadi sebuah kegiatan terlarang dan barangsiapa tetap melakukannya akan ditangkap sebagai seorang kriminal. Mulailah terjadi sebuah era dimana “gereja” menganiaya gereja.
Praktek baptisan percik dimulai pada tahun 400, hukum indulgensia (pengampunan dosa) mulai diajarkan dan populer. Sejak itu dimulailah perjalanan gereja memasuki “the dark ages” selama 1200 tahun.
Setelah itu gereja makin lama makin meninggalkan “the sound doctrine”(doktrin yang benar). Tahun 431 adalah permulaan penyembahan kepada Bunda Maria (theotokos). Sejak tahun 440 hingga 460 Leo 1 Agung menjadi Paus pertama dalam arti sebagai pemimpin penuh dari gereja sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Tahun 593 muncul dogma Api Penyucian (purgatorium) yang ditetapkan oleh Paus Gregor 1 Agung. Pada tahun 600 muncul doa kepada Bunda Maria, orang-orang suci dan para malaikat semakin berkembang.
Saat degradasi terjadi dalam gereja muncullah Muhammad pada tahun 570-632 dan agama Islam berkembang. Wilayah-wilayah yang dahulunya telah dimenangkan bagi Tuhan kala itu beralih imannya akibat “degradasi” iman yang terjadi dalam gereja.
Hingga suatu hari terjadi “sejarah hitam” yang dilakukan oleh gereja yaitu “perang salib”. Gereja yang seharusnya hidup dalam kasih, menyatakan kasih dan dikenal sebagai orang-orang yang penuh kasih sayang menjadi kaum barbar dengan mengatasnamakan Tuhan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Tafsiran payah dari suatu sejarah. Lebih baik anda menampilkan sejarahnya saja. Daripada menampilkan keinginan anda yang sinis terhadap keyakinan lain dengan menggunakan sejarah.
Karena dengan tulisan ini anda hanya memelihara salah satu sejarah lain yang membuat gereja terdegradasi, yaitu sinisme antar beragam aliran yang mengarahkan gereja kepada perpecahan..
ini bukan sejarah gereja sebenarnya...tapi pendapat atau pandangan pribadi... sangat menyimpang dari kejadian sebenarnya, dan kurang tepat memahami ayat alkitab apalagi diambil seenak sendiri sesuai keinginannya..
Visit Us.. seputargerejaorthodox.blogspot.com
Posting Komentar