Menyikapi Surat SPB 2 Menteri tentang:
Rumah Ibadat
KETIKA TUHAN—AGAMA TAK BERDINDING
Agama tanpa tembok dengan demikian menjadi visi dan cara baru beribadat.
Oleh: Stevanus Subagijo
Surat Peraturan Bersama (SPB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 8
dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas kepala Daerah / Wakil
Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian
Rumah Ibadat—yang merupakan revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1969—telah ditandatangani.
Selanjutnya, surat yang sudah dikenal sebagai sumber polemik ihwal pendirian
rumah ibadat—termasuk yang memicu pelarangan ibadat—itu akan melalui tahap
implementasi di lapangan.
Seperti sudah diduga sebelumnya, reaksi yang terjadi adalah beberapa rumah
yang dijadikan tempat ibadah di tutup oleh warga. Penutupan lebih karena tidak di
penuhinya persyaratan sesuai SPB.
Secara tidak langsung tersirat bahwa terpenuhinya syarat sesuai SPB lebih tinggi
nilainya daripada ibadat itu sendiri. Substansi ibadat kepada Tuhan mengalami
degradasi, tidak lebih penting dari persyaratan pendirian rumah ibadat.
Transformasi Ibadah
Terlepas dari perdebatan soal perlu tidaknya izin pendirian rumah ibadat (dalam
praktiknya mencakup pula izin beribadat), sisi positif kasus ini membuka mata perihal
keber-agama-an baru. Baru di sini bukan berarti pertama kali ada, tetapi baru dalam
arti pemeluk agama disadarkan akan ketidak-terbatasan Tuhan yang menjadi tujuan
ibadat, yang mestinya juga terbawa dalam ketidak-terbatasan cara beribadat kepada-
Nya.
Mereka yang menentang SPB sebagai revisi SKB mengatakan bahwa ibadat tidak
perlu memakai izin. Setiap pemeluk agama berhak untuk membangun rumah ibadat
dan melaksanakan ibadat sesuai keyakinannya, yang merupakan bagian dari hak
asasi manusia.
Di satu sisi pernyataan ini benar dan berupaya meletakkan ideal beragama di
tengah masyarakat plural. Namun di sisi lain juga menjadi absurt karena dengan
menolak syarat izin pendirian rumah ibadat yang sudah ditetapkan pemerintah, justru
telah mengingkari sifat ketidak-terbatasan Tuhan—yang berizin atau tidak, memenuhi
syarat atau tidak—tidak terpengaruh olehnya. Ketidak-terbatasan Tuhan mestinya
akan membuka peluang cara beribadat baru kepada-Nya.
Bahwa sekalipun ibadat harus mempunyai izin dengan tanda tangan ber-KTP dari
jemaah sebanyak 90 orang dan dari masyarakat sekitar 60 tanda tangan sesuai
syarat SPB, menjadi absurt jika disandingkan dengan sifat ke-Maha-an Tuhan tadi.
Izin memang bisa menghambat pendirian rumah ibadat dan pelaksanaan ibadat
dengan cara dan kebiasaan yang sudah berjalan. Tapi peraturan yang dirasakan
membatasi itu mestinya justru membuka cara beribadat baru yang tak habis-habisnya,
sesuai sifat-Nya yang Maha Tak Terbatas.
Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa pendirian rumah ibadat dan
pelaksanaan ibadat terhambat soal izin di atas. Yang terhambat hanya pendirian
rumah ibadat dan pelaksanaan ibadat sebagai kebiasaan selama ini, namun tetap tak
terbatas dalam cara beribadat baru, yang bebas dari “terkondisikan” untuk meminta
izin seperti disyaratkan.
Tuhan, rumah ibadat dan cara beribadat kepada-Nya bebas dari aturan politik
dan legitimasi sosial. Itu semua bukan soal perlu atau tidak perlu izin, tetapi memang
substansinya tidak mengenal izin karena sifatnya yang transenden, rohaniah, bahkan
imaniah yang undang-undang pun tidak bisa menjangkaunya.
Dengan membuka wawasan dan kesadaran baru tentang sifat ke-maha-an
Tuhan, setiap upaya manusia untuk membatasi pendirian rumah ibadat (yang
notabene diyakini juga rumah untuk bertemu dengan Tuhan, bahkan “Rumah Tuhan”)
hanya menjadi penghambat kecil, bahkan akan tergerus oleh sifat Maha Tak
Terbatas. SPB tidak lagi dipandang sebagai hambatan karena Tuhan akan membuka
cara beribadat yang baru dan kreatif. Sebuah transformasi ibadat.
“Tuhan tanpa Rumah”
Pasca penandatanganan SPB yang bisa dilakukan ialah membuka seluas
mungkin cara beragama baru yang tidak terbentur pada soal izin mendirikan rumah
ibadat. Dengan kata lain, upaya matematikanisasi kegiatan spiritual—dengan syarat
90 jemaat ber-KTP dan 60 orang lingkungan sekitar sebagai “baptis politik”
pemerintah dan “baptis sosial” warga sekitar—agar ibadat aman dan sah, perlu
disikapi dengan membuka pintu teologi baru atas pendirian “rumah Tuhan” dan
rutinitas beribadat kepada-Nya.
Sebetulnya tidak ada yang hilang, sekalipun rumah ibadat tidak boleh didirikan
atau bahkan yang sudah berjalan ditutup. Meski rumah ibadat diidentikkan sebagai
“rumah Tuhan”, penutupan rumah ibadat tidak berarti “Tuhan kehilangan rumah”.
Justru sebaliknya, pendirian rumah ibadat termasuk pelanggaran dan penutupan
hanya karena tidak memenuhi syarat sehingga tidak berizin, mengingatkan kembali
tentang substansi “Tuhan tanpa rumah”.
Meminjam terminologi Kristen, dimana Anak Manusia (baca: Tuhan) tidak punya
tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Jangankan rumah ibadat, rumah-Nya, bantal
saja tak punya. Teologi “Tuhan tanpa rumah” ini justru membebaskan agama dan
umat untuk mencari cara ibadat yang tak terbatasi oleh bangunan dan ritual-ritualnya.
Rumah ibadat adalah seluruh alam semesta, yakni dimana saja dan ritual-ritual
peribadatan langsung terefleksikan pada keseharian hidup umat beragama dari hati,
pikiran ke perilaku sebagai jantung dan etalase ibadat itu sendiri. Selama ini telah
terjadi institusionalisasi ibadat, bahwa ibadat hanya dalam rumah ibadat saja, di luar
itu dianggap belum atau tidak melakukan ibadat.
Agama tanpa Tembok
Dalam konteks agama, matematikanisasi izin pendirian dan kegiatan peribadatan
di dalamnya, justru membuka peluang lahirnya agama tanpa tembok (religion without
wall) sebagai konsekuensi teologi “Tuhan tanpa rumah”. Hal mana sejalan dengan
prinsip-prinsip universal agama bahwa agama bukan sekedar ditandai dengan
bangunan fisik atau ritual ibadat. Tetapi agama adalah organisme hidup, kumpulan
mereka yang percaya kepada yang transenden. Primary concern agama dalam hal ini
ialah manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya, dan bukan semata tempat
ibadat dan simbol-simbol keagamaan.
Dakwah agama dengan demikian juga tidak terbatas pada komunitas jemaah lokal
(at stated times), tetapi dengan terbebas dari sindrom pendirian rumah ibadat, agama
justru dibukakan ladang dakwah baru di mana saja. Sikap agama terhadap SPB yang
mensyaratkan pendirian rumah ibadat dengan demikian seharusnya disikapi
kebalikannya, yakni dengan menerima tanpa syarat (unconditional acceptance).
Agama tanpa tembok dengan demikian menjadi visi dan cara baru beribadat. Ia
lebih mendorong praktek agama yang lebih inklusif dibanding sebelumnya yang tetap
mempertahankan etalase rumah ibadat, simbol dan ritual yang eksklusif.
Inilah pokok terpenting dari polemik SPB. Tidak perlu dikhawatirkan bahwa SPB
akan melarang hak beribadah seseorang. Meski fenomena rumah ibadat ditutup
dengan alasan tidak memenuhi persyaratan SPB, hal ini justru menjadi batu penguji
tingkat keber-agama-an seseorang.
Kita tahu bahwa memeluknya seseorang kepada suatu agama lebih karena
panggilan yang bersifat transenden yang diyakininya, bahwa dengan percaya kepada
agamanya inilah ia menjadi orang yang beruntung dan diselamatkan. Ini berarti
memeluk agama membutuhkan a Call (sebuah panggilan). Dengan tidak adanya
tempat beribadat, keber-agama-an seseorang justu dikondisikan untuk
mendahulukan a Call-nya (panggilan kepada agamanya) daripada sekedar
tersedianya a Wall (tembok rumah ibadat).
Sisi postif SPB ialah kemungkinannya melahirkan pola keber-agama-an baru yang
kuat karena penekanan pada a Call dan bukan sekedar a Wall. Panggilan agama
yang tertoreh di relung hati yang paling dalam yang memancar pada kehidupan
sehari-hari dan bukan sekedar pergi ke rumah ibadat dengan mengusung simbol
agama dan ritualismenya yang rentan.
KOMPAS,
Sabtu, 3 Juni 2006 (halaman 14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar