Gereja merupakan organisme yang hidup dan bukan sekedar organisasi buatan tangan manusia. Gereja harus di mulai di rumah tangga kita masing-masing dan bukan sekedar aktivitas religius belaka namun bagian kehidupan sehari-hari. Gereja harus jadi terang dan garam di luar dinding gedung gereja. Sebab gereja adalah kita
Jumat, 29 Februari 2008
MEMBANGUN ORANG & PERGERAKAN
MEMBANGUN ORANG DAN PERGERAKAN DARIPADA
MEMBANGUN "KARIR ROHANI"
Seringkali kita lihat di Alkitab Yesus menghindari orang banyak untuk
berdoa secara pribadi. Setiap kali orang mau membuat Dia jadi bintang
terkenal maka Dia lari untuk berdoa. Ketika mereka ingin menjadikan Dia
raja karena Dia bisa "membuat roti" maka Ia pergi berdoa (Yohanes 6:15).
Waktu mereka mau menjadikan Dia terkenal sebagai penyembuh, maka
dikatakan bahwa Yesus meninggalkan khalayak ramai dan pergi berdoa
sehingga Dia bisa punya prioritas utama, berbicara dengan Bapa. Ia pergi
kepada Bapa, seakan berkata: “Bapa, orang-orang telah membuat-Ku jadi
bintang dan telah menaruh bintang-bintang di pundak-Ku. Mereka telah
memberi-Ku gelar. Bapa, ambil itu dari-Ku, biar aku jadi Anak saja. Aku
tidak menginginkan apa yang orang-orang bisa berikan. Aku hanya mau
apa yang diberikan Bapa”.
Ini penting! Banyak orang terima pujian kemudian mulai “naik” dan
terus naik sampai menjadi korban dari kesuksesannya sendiri dan
akhirnya terkunci di posisinya, tidak bisa turun lagi dari posisi yang
diberikan oleh manusia. Itulah sebabnya Yesus menjalani hidup yang
disebut Pengunduran diri strategis. Dia mengundurkan diri dari sanjungan
dan pusat perhatian orang banyak. Sering sehabis menyembuhkan orang
sakit Dia menyuruh orang tersebut tidak memberitahukan hal itu kepada
orang banyak. Alangkah berbedanya apa yang Yesus jalani dengan mimpi
dan gairah kebanyakan orang-orang Kristen dan pelayan-pelayan Tuhan
hari ini …
Walaupun bisa, Yesus bahkan tidak pernah membangun denominasi …
Dia lebih tertarik membangun pergerakan … membangun hubungan-Nya
dengan Bapa … membangun orang-orang. Disanalah Dia investasikan
hidup dan energi terbaik-Nya. Itulah gairah utama-Nya. Jauh dari kesan
cari nama.
Apa yang sedang kita bangun?
- CORNELIUS WING -
Rabu, 27 Februari 2008
Senin, 25 Februari 2008
GEREJA YANG TERDIRI DARI DUA TIGA ORANG
GEREJA YANG TERDIRI DARI DUA (TIGA) ORANG
Kepada gereja Tuhan yang terkasih,
Berapakah jumlah terkecil kumpulan orang Kristen dapat disebut sebagai gereja?
Sulit untuk menemukannya di dalam Alkitab selain angka dua. “Sebab dimana dua atau tiga orang berkumpul di dalam NamaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” Matius 18:20. Menurut pendapat saya, dapat dikatakan bahwa salah satu bentuk gereja mula-mula melibatkan dua orang percaya. Ini merupakan gereja yang terdiri dari dua atau tiga orang.
Dalam tradisi Yahudi diajarkan bahwa 10 orang pria dewasa memenuhi syarat untuk diadakannya sebuah pertemuan dalam sinagoge. Ini disebut sebuah minyan atau kuorum. Beberapa sarjana theologia percaya bahwa Yesus menjelaskan “minyan”Nya (syaratNya) di dalam Matius 18:20. Syaratnya hanya dua atau tiga orang, dan tidak wajib hanya pria yang bertemu.
Mengapa hal ini penting?
Sebab fungsi dari bentuk dasar gereja memiliki implikasi besar bagi kesehatan dari bentuk gereja yang lebih besar lagi. Kebenaran ini sama dengan fungsi tubuh fisik kita. Bilamana seluruh jaringan sel dalam hati kita sehat dan berfungsi dengan baik, maka dapat dipastikan bahwa hati kita sehat. Namun apabila, beberapa jaringan sel itu tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik, hati kita akan bermasalah. Bila ekspresi gereja dalam bentuk terkecilnya sehat dan berfungsi secara baik, maka bentuk gereja di dalam kelompok yang lebih besar akan membawa kita dalam pengalaman yang lebih menyehatkan.
Apakah fungsi-fungsi dari Gereja Yang Terdiri dari Dua atau Tiga orang?
Pengkhotbah 4:9-12 memberikan pada kita 4 fungsi yang vital yang dapat dicapai di dalam gereja dalam ukuran kecil ini. Mungkin Yesus sedang memikirkan ayat ini saat Ia menjabarkan bagaimana dua atau tiga orang berkumpul di dalam NamaNya. Mungkin Ia memiliki pemikiran ini saat Ia mengutus 72 muridNya berdua-dua untuk menanam gereja di dalam Lukas 10:1.
Pemikiran mendasar : “Berdua lebih baik dari seorang diri saja” (ayat 9) Mengapa?
Empat alasan:
1. Berbuah di dalam pelayanan. "Karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka” (ayat 9). Seringkali dua orang yang bekerjasama dalam sebuah tim dapat lebih produktif daripada dua orang bekerja secara terpisah. Cara kerja sebuah kesatuan lebih berdampak daripada hanya perbagian, meski mungkin hanya dua bagian yang menjadi satu. Ini merupakan sinergi kekuatan. "Dalam hal inilah BapaKu dipermuliakan, yaitu jika kamu (sekalian – plural) berbuah banyak.” (Yohanes 15:8)
2. Mengatasi kegagalan. "Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!” (ayat 10) "Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal” Yakobus 3:2 Apa yang terjadi bila tidak ada seorangpun yang cukup dekat dengan kita yang tahu apa yang terjadi dalam hidup kita? Apa yang terjadi bila tidak ada seorangpun yang akrab dengan kita hingga kita tidak menolong siapapun karena ketidaktahuan kita? Kita atau pribadi itu akan terjerembab dalam waktu yang lama dalam pergumulan itu.
3. Semangat. "Juga kalau orang tidur berdua, mereka menjadi panas, tetapi bagaimana seorang saja dapat menjadi panas? (ayat 11). Dalam bahasa asli “menjadi panas” (zeo) itu berarti mendidih, mendesis akibat amat panas, agar panas. Dua orang besama dapat membangkitkan kegairahan masing-masing. Seorang diri saja dapat mudah kita menjadi patah semangat atau dingin. Dalam Roma 12:11 dikatakan Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor atau dalam Alkitab Bahasa Inggris dikatakan "Never lacking in zeal (janganlah kiranya semangatmu berkurang)." (Rom. 12:11)
4. Peperangan rohani. "Dan bilamana seorang dapat dikalahkan, dua orang akan dapat bertahan.” (ayat 12). "Lawanlah Iblis" (Yakobus 4:7) merupakan perintah berbentuk jamak. Hidup menyendiri sebagai orang Kristen akan mengakibatkan kita dengan mudah ditaklukkan oleh musuh.
Gereja rumah bukanlah bentuk terkecil dari ekspresi gereja. Ini merupakan perbedaan antara gereja rumah dan gereja yang terdiri dari dua atau tiga orang. Sebenarnya saya percaya bahwa kelompok dua atau tiga orang ini, akan berjalan sangat akrab/dekat, menghidupi empat alasan di atas maka mereka akan menjadi batu yang hidup bagi gereja rumah yang sehat.
Bayangkan bila tiap orang dalam gereja rumahmu berhubungan sangat akrab satu dengan yang lainnya dan mengimplementasikan 4 fungsi di dalam Pengkhotbah 4. Bukankah hal itu akan membawa sebuah perubahan?
Ditulis oleh John White (DAWN Ministries)
Diterjemahkan oleh Dave Broos, associate minister DAWN Ministries & Outreach Fellowship International, mengembangkan penanaman gereja rumah/ organik dan penjangkauan kaum subkultur (Shadow of the Cross) di Indonesia.
Jumat, 15 Februari 2008
BAU TAK SEDAP OTORITARIANISME DALAM GEREJA
BAU TAK SEDAP OTORITARIANISME DALAM GEREJA
Kepemimpinan pada strata "puncak piramida" dalam kehidupan bergereja sering mengidap ‘penyakit kekuasaan’. Dunia juga tahu bahwa pusat kekuasaan selalu rentan dan tidak imun terhadap korup ; makin melimpahnya kekuasaan maka makin terbuka lebar kemungkinan penyalahgunaannya. Praktek manipulasi, dominasi bahkan intimidasi makin tumbuh subur. Entah pada ujung-ujungnya berhubungan dengan keuangan, moralitas atau arogansi. Sering para elite rohani menegaskan bahwa otoritas mereka diperlukan untuk mengontrol dan menjaga kawanan. (Meski disisi lain juga mengundang pertanyaan tentang siapa yang mengontrol mereka? Apakah mereka kebal dosa? Bisa meng"excuse" kesalahan sendiri karena statusnya adalah mandataris Tuhan dan cenderung "tidak bisa salah" ? Kepada siapa secara pribadi mereka memberikan pertanggungjawaban atas keuangan dan moralitas? ). Perlu terus menjadi kritis mengenai seberapa jauh implikasi dan aplikasi soal topik bahasan tersebut supaya kebenaran tentang otoritas tidak diserongkan dan proses pembodohan terus terjadi. Jika ketidak-seimbangan mengenai hal tersebut tidak terkoreksi maka pada akhirnya otoritarianisme akan tumbuh subur dalam gereja. Proses memberdaya(kan) sering melenceng menjadi proses memperdaya. Apa akarnya? Meski tidak semua akar permasalahannya bisa diungkapkan dalam coretan singkat ini tetapi pada hemat penulis salah satu akar masalahnya adalah pemahaman yang tidak seimbang tentang prinsip penundukan diri dalam Ibrani 13:17 di kalangan pemimpin rohani. Ungkapan ‘tunduk dan taatilah pemimpinmu’ pada ayat tersebut telah dipahami bahkan diterapkan pada konteks yang kurang tepat, sekaligus menjadi senjata ampuh yang digunakan dalam proses manipulasi dan intimidasi terhadap jemaat/pengikut demi kepentingan sepihak, sang pemimpin. Ada baiknya menjadi jujur tentang situasi tersebut dan melakukan studi serta kajian lebih mendalam lagi. Karena perilaku dibentuk oleh apa yang kita tahu, maka salah pengetahuan berarti salah kelakuan. Hidup kita dibentuk oleh berita yang kita dengar dan hayati. Kebenaran soal kepemimpinan dan penundukan diri pun harus dilihat pada sudut pandang yang seimbang. Kalau kita melihat kata Yunani yang relevan dengan kekuasaan/otoritas rohani maka kata tersebut adalah: exousia. Kata ini biasanya diterjemahkan sebagai 'kekuatan (power)' atau pun 'kekuasaan (otoritas)', dalam bahasa Inggrisnya adalah 'authority'. Yang menarik adalah bahwa pada Perjanjian Baru, tidak disebutkan bahwa seorang percaya mempunyai 'kekuasaan/otoritas/exousia' seorang terhadap yang lainnya (sekalipun memiliki otoritas atas banyak hal yang lain). Kita punya otoritas/kekuasaan terhadap hal-hal, dan bahkan roh- roh di udara, tetapi tidak pernah terhadap orang Kristen lainnya. Hal ini menimbulkan debat yang mengejutkan mengenai kepemimpinan dan otoritas/kekuasaan rohani. Raja-raja mempunyai otoritas/kekuasaan terhadap subjek mereka; Paulus mempunyai otoritas/kekuasaan dari para imam untuk menganiaya gereja (Kisah 9:14, 26:10-12). Tetapi semua itu dari luar gereja. Di dalam gereja, seorang percaya tidak pernah dikatakan mempunyai exousia terhadap yang lainnya, tanpa memperhatikan posisi atau pun wibawa mereka. Siapakah yang harus seseorang patuhi? Di sini, jawabannya menarik juga. Jika kita mengamati penggunaan kata “hupakouo”, yang merupakan bahasa Yunani yang berarti 'obey/patuh/taat' maka kita akan menemukan bahwa kita harus mentaati Tuhan, Injil (Roma 10:16) dan pengajaran para rasul (Filipi 2:12, II Tesalonika 3:14). Anak-anak mentaati orang tua mereka, dan hamba kepada tuannya (Efesus 6:1, 5) Apakah hubungan antara orang percaya terhadap para pemimpin jemaat ada dalam konteks "ketaatan" tersebut ? Jika seperti itu, maka hal tersebut tidak dikatakan dalam Perjanjian Baru. Bagaimana dengan teks dalam Ibrani 13:17, yang berkata: 'taatilah pemimpinmu?' Teks ini menarik, karena memberikan pengertian yang dalam mengenai pengertian kepemimpinan dalam Perjanjian Baru. Keterangan sebelum ini sudah menekankan sisi negatifnya -- bahwa mereka tidak punya otoritas/kekuasaan rohani dalam arti yang biasanya, dan bahwa orang percaya tidak dikatakan harus mentaati mereka, dalam kerangka pengertian "exousia". Bagaimanapun juga, Perjanjian Baru bersikeras bahwa ada pemimpin-pemimpin dalam jemaat lokal dan kehadiran serta pelayanan mereka penting bagi kesehatan dari jemaat. Masalahnya adalah pada konsep kepemimpinan itu sendiri; bersumber dari kebenaran rohani atau konsep kepemimpinan yang dari duniawi? Ada petunjuk dalam Ibrani 13:17. Jika Anda mengamati kata kerja yang diterjemahkan menjadi 'obey/mentaati', Anda akan menemukan kata 'peitho' yang berarti 'membujuk'/persuasi. Dalam bentuk kata yang dipakai di sini (middle-pasif) berarti sesuatu seperti 'biarkan dirimu dibujuk oleh' atau 'mempunyai kepercayaan dalam'. Sekarang ini sangat membantu. Orang-orang percaya harus membiarkan diri mereka untuk dibujuk oleh para pemimpin mereka. Pemimpin diberi kehormatan tertentu yang membuat kata-kata mereka lebih berbobot dari yang sebenarnya mereka punyai dalam dan dari diri mereka sendiri. Memiliki kemampuan persuasif. Dan para jemaat yang lain harus condong untuk mendengarkan apa yang mereka katakan. Kita harus membiarkan diri kita untuk dibujuk oleh para pemimpin -- tidak untuk mentaati mereka membabi buta/tanpa berpikir, tapi berdiskusi dengan mereka sementara kita condong untuk mendengarkan apa yang mereka katakan. . Kata kerja lain yang digunakan dalam Ibrani 13:17 menguatkan kesimpulan ini. Ketika teks ini mendesak orang-orang untuk tunduk pada pemimpin, ini tidak menggunakan jenis kata dalam Perjanjian Baru untuk kata 'submit / tunduk' yang kata aslinya adalah “hupotassomai”, yang bermakna konotasi: sesuatu seperti menaruh diri sendiri dalam suatu organisasi di bawah pimpinan orang lain. Kata itu berbeda. Ini adalah “hupeiko”, bukan hupotassomai dan ini hanya muncul sekali dalam Perjanjian Baru. Ini berkonotasi bukan suatu struktur di mana kita tunduk, tetapi suatu peperangan dimana setelah itu orang menyerah/mengalah. Gambarannya (bila dalam kemiliteran) adalah suatu diskusi yang serius, suatu pertukaran tempat ketika suatu partai menyerah. Ini lebih kepada membiarkan diri kita dibujuk oleh pemimpin-pemimpin jemaat, daripada tunduk tanpa perlawanan pada mereka seperti yang kita lakukan pada kekuasaan dan struktur kehidupan yang ada. Hal ini menjadikan masuk akal dengan kriteria pemimpin dalam surat-surat pastoral. Karakter adalah hal terpenting bagi pemimpin -- mereka harus 'dapat-dihormati’. Jika mereka seharusnya menjadi 'pembujuk', itu berarti mereka harus dengan sangat unggul dapat dihormati, karena orang jenis inilah yang cenderung kata-katanya dapat dianggap serius/penting. Jenis dari 'kemampuan untuk dapat dihormati' yang diuraikan di sana meminjam arti kata kredibilitas dari pemimpin, karena itu memberi kita kepercayaan untuk membuat kita membuka diri sebagai jemaat untuk dibujuk oleh mereka. Bukannya menuntut penghormatan berlebihan atas otoritasnya sementara kehidupannya tidak berkarakter dan kredibel. Kita harus mengambil ide tentang kepemimpinan dari Perjanjian Baru, bukan dari dunia. Maka, kita harus memulai bukan dengan konsep duniawi dari kepemimpinan, tetapi dengan ide alkitabiah dari kata 'pembujuk' dan mencoba untuk menerapkannya dalam situasi sehari-hari kita. Benar bahwa orang yang olehnya jemaat dibujuk, menerima sejenis penghormatan dan kekuasaan/ otoritas.Tetapi ini bukan kekuasaan yang membabi buta seperti praktek dari banyak otoritas/ kekuasaan rohani dewasa ini. Kita sudah melihat bahwa otoritas rohani itu berdasarkan kepercayaan yang sungguh-sungguh pada pemimpin. Tapi pemimpin juga berdasar pada kebenaran. Pemimpin jemaat harus mencintai kebenaran dan benci untuk didengarkan ketika mereka tidak menunjukkan integritas dan kredibilitas sejati. Lebih lagi, kebenaran itu penting sekali dalam ke-persuasif-an pemimpin. Tapi persuasif menuntut adanya dialog; dan dialog membutuhkan keaktifan partisipasi dari semua jemaat. Seorang pemimpin yang punya karisma untuk membujuk orang untuk melakukan yang tidak benar, dan melakukannya, itu jahat/sihir. Dan buruk juga, jemaat yang mengikuti secara membabi buta. Terbujuk pada suatu kebohongan adalah bentuk terburuk dari perbudakan. Pemimpin-pemimpin dalam jemaat terikat dengan kebenaran dan melayaninya jauh di atas pelayanan mereka terhadap yang lain. Dan jemaat terikat dengan tanggung jawab untuk berdialog mengenai kebenaran. Kepercayaan yang ditimbulkan oleh pelayanan itu berbahaya jika tidak dikoordinasi dengan ketundukan pada kebenaran Injil. Jika kebenaran dan kepercayaan tidak berjalan bersama-sama dalam dasar kepemimpinan dalam jemaat, maka kepercayaan yang diciptakan dalam pelayanan ini akan menjadi suatu bentuk yang jelas dari kekuatan-kekuatan yang kita sebut manipulasi. Kepemimpinan Kristen yang murni, berdasarkan pada kebenaran dan kepercayaan, tidak pada kepemimpinan gaya dunia. Kepemimpinan dalam jemaat disebut sebagai kehidupan pelayanan yang dapat-dihormati. Kehidupan yang kredibel dan berintegritas seperti itu menimbulkan kepercayaan dari orang lain. Pemimpin, seperti semua anggota Tubuh Kristus, tunduk pada kebenaran dan hidup dalam kebenaran yang adalah Kristus sendiri. Seharusnya otoritarianisme kepemimpinan dan pasifnya kepengikutan tidak ada dalam kehidupan bergereja kita. - Cornelius Wing -
Kepemimpinan pada strata "puncak piramida" dalam kehidupan bergereja sering mengidap ‘penyakit kekuasaan’. Dunia juga tahu bahwa pusat kekuasaan selalu rentan dan tidak imun terhadap korup ; makin melimpahnya kekuasaan maka makin terbuka lebar kemungkinan penyalahgunaannya. Praktek manipulasi, dominasi bahkan intimidasi makin tumbuh subur. Entah pada ujung-ujungnya berhubungan dengan keuangan, moralitas atau arogansi. Sering para elite rohani menegaskan bahwa otoritas mereka diperlukan untuk mengontrol dan menjaga kawanan. (Meski disisi lain juga mengundang pertanyaan tentang siapa yang mengontrol mereka? Apakah mereka kebal dosa? Bisa meng"excuse" kesalahan sendiri karena statusnya adalah mandataris Tuhan dan cenderung "tidak bisa salah" ? Kepada siapa secara pribadi mereka memberikan pertanggungjawaban atas keuangan dan moralitas? ). Perlu terus menjadi kritis mengenai seberapa jauh implikasi dan aplikasi soal topik bahasan tersebut supaya kebenaran tentang otoritas tidak diserongkan dan proses pembodohan terus terjadi. Jika ketidak-seimbangan mengenai hal tersebut tidak terkoreksi maka pada akhirnya otoritarianisme akan tumbuh subur dalam gereja. Proses memberdaya(kan) sering melenceng menjadi proses memperdaya. Apa akarnya? Meski tidak semua akar permasalahannya bisa diungkapkan dalam coretan singkat ini tetapi pada hemat penulis salah satu akar masalahnya adalah pemahaman yang tidak seimbang tentang prinsip penundukan diri dalam Ibrani 13:17 di kalangan pemimpin rohani. Ungkapan ‘tunduk dan taatilah pemimpinmu’ pada ayat tersebut telah dipahami bahkan diterapkan pada konteks yang kurang tepat, sekaligus menjadi senjata ampuh yang digunakan dalam proses manipulasi dan intimidasi terhadap jemaat/pengikut demi kepentingan sepihak, sang pemimpin. Ada baiknya menjadi jujur tentang situasi tersebut dan melakukan studi serta kajian lebih mendalam lagi. Karena perilaku dibentuk oleh apa yang kita tahu, maka salah pengetahuan berarti salah kelakuan. Hidup kita dibentuk oleh berita yang kita dengar dan hayati. Kebenaran soal kepemimpinan dan penundukan diri pun harus dilihat pada sudut pandang yang seimbang. Kalau kita melihat kata Yunani yang relevan dengan kekuasaan/otoritas rohani maka kata tersebut adalah: exousia. Kata ini biasanya diterjemahkan sebagai 'kekuatan (power)' atau pun 'kekuasaan (otoritas)', dalam bahasa Inggrisnya adalah 'authority'. Yang menarik adalah bahwa pada Perjanjian Baru, tidak disebutkan bahwa seorang percaya mempunyai 'kekuasaan/otoritas/exousia' seorang terhadap yang lainnya (sekalipun memiliki otoritas atas banyak hal yang lain). Kita punya otoritas/kekuasaan terhadap hal-hal, dan bahkan roh- roh di udara, tetapi tidak pernah terhadap orang Kristen lainnya. Hal ini menimbulkan debat yang mengejutkan mengenai kepemimpinan dan otoritas/kekuasaan rohani. Raja-raja mempunyai otoritas/kekuasaan terhadap subjek mereka; Paulus mempunyai otoritas/kekuasaan dari para imam untuk menganiaya gereja (Kisah 9:14, 26:10-12). Tetapi semua itu dari luar gereja. Di dalam gereja, seorang percaya tidak pernah dikatakan mempunyai exousia terhadap yang lainnya, tanpa memperhatikan posisi atau pun wibawa mereka. Siapakah yang harus seseorang patuhi? Di sini, jawabannya menarik juga. Jika kita mengamati penggunaan kata “hupakouo”, yang merupakan bahasa Yunani yang berarti 'obey/patuh/taat' maka kita akan menemukan bahwa kita harus mentaati Tuhan, Injil (Roma 10:16) dan pengajaran para rasul (Filipi 2:12, II Tesalonika 3:14). Anak-anak mentaati orang tua mereka, dan hamba kepada tuannya (Efesus 6:1, 5) Apakah hubungan antara orang percaya terhadap para pemimpin jemaat ada dalam konteks "ketaatan" tersebut ? Jika seperti itu, maka hal tersebut tidak dikatakan dalam Perjanjian Baru. Bagaimana dengan teks dalam Ibrani 13:17, yang berkata: 'taatilah pemimpinmu?' Teks ini menarik, karena memberikan pengertian yang dalam mengenai pengertian kepemimpinan dalam Perjanjian Baru. Keterangan sebelum ini sudah menekankan sisi negatifnya -- bahwa mereka tidak punya otoritas/kekuasaan rohani dalam arti yang biasanya, dan bahwa orang percaya tidak dikatakan harus mentaati mereka, dalam kerangka pengertian "exousia". Bagaimanapun juga, Perjanjian Baru bersikeras bahwa ada pemimpin-pemimpin dalam jemaat lokal dan kehadiran serta pelayanan mereka penting bagi kesehatan dari jemaat. Masalahnya adalah pada konsep kepemimpinan itu sendiri; bersumber dari kebenaran rohani atau konsep kepemimpinan yang dari duniawi? Ada petunjuk dalam Ibrani 13:17. Jika Anda mengamati kata kerja yang diterjemahkan menjadi 'obey/mentaati', Anda akan menemukan kata 'peitho' yang berarti 'membujuk'/persuasi. Dalam bentuk kata yang dipakai di sini (middle-pasif) berarti sesuatu seperti 'biarkan dirimu dibujuk oleh' atau 'mempunyai kepercayaan dalam'. Sekarang ini sangat membantu. Orang-orang percaya harus membiarkan diri mereka untuk dibujuk oleh para pemimpin mereka. Pemimpin diberi kehormatan tertentu yang membuat kata-kata mereka lebih berbobot dari yang sebenarnya mereka punyai dalam dan dari diri mereka sendiri. Memiliki kemampuan persuasif. Dan para jemaat yang lain harus condong untuk mendengarkan apa yang mereka katakan. Kita harus membiarkan diri kita untuk dibujuk oleh para pemimpin -- tidak untuk mentaati mereka membabi buta/tanpa berpikir, tapi berdiskusi dengan mereka sementara kita condong untuk mendengarkan apa yang mereka katakan. . Kata kerja lain yang digunakan dalam Ibrani 13:17 menguatkan kesimpulan ini. Ketika teks ini mendesak orang-orang untuk tunduk pada pemimpin, ini tidak menggunakan jenis kata dalam Perjanjian Baru untuk kata 'submit / tunduk' yang kata aslinya adalah “hupotassomai”, yang bermakna konotasi: sesuatu seperti menaruh diri sendiri dalam suatu organisasi di bawah pimpinan orang lain. Kata itu berbeda. Ini adalah “hupeiko”, bukan hupotassomai dan ini hanya muncul sekali dalam Perjanjian Baru. Ini berkonotasi bukan suatu struktur di mana kita tunduk, tetapi suatu peperangan dimana setelah itu orang menyerah/mengalah. Gambarannya (bila dalam kemiliteran) adalah suatu diskusi yang serius, suatu pertukaran tempat ketika suatu partai menyerah. Ini lebih kepada membiarkan diri kita dibujuk oleh pemimpin-pemimpin jemaat, daripada tunduk tanpa perlawanan pada mereka seperti yang kita lakukan pada kekuasaan dan struktur kehidupan yang ada. Hal ini menjadikan masuk akal dengan kriteria pemimpin dalam surat-surat pastoral. Karakter adalah hal terpenting bagi pemimpin -- mereka harus 'dapat-dihormati’. Jika mereka seharusnya menjadi 'pembujuk', itu berarti mereka harus dengan sangat unggul dapat dihormati, karena orang jenis inilah yang cenderung kata-katanya dapat dianggap serius/penting. Jenis dari 'kemampuan untuk dapat dihormati' yang diuraikan di sana meminjam arti kata kredibilitas dari pemimpin, karena itu memberi kita kepercayaan untuk membuat kita membuka diri sebagai jemaat untuk dibujuk oleh mereka. Bukannya menuntut penghormatan berlebihan atas otoritasnya sementara kehidupannya tidak berkarakter dan kredibel. Kita harus mengambil ide tentang kepemimpinan dari Perjanjian Baru, bukan dari dunia. Maka, kita harus memulai bukan dengan konsep duniawi dari kepemimpinan, tetapi dengan ide alkitabiah dari kata 'pembujuk' dan mencoba untuk menerapkannya dalam situasi sehari-hari kita. Benar bahwa orang yang olehnya jemaat dibujuk, menerima sejenis penghormatan dan kekuasaan/ otoritas.Tetapi ini bukan kekuasaan yang membabi buta seperti praktek dari banyak otoritas/ kekuasaan rohani dewasa ini. Kita sudah melihat bahwa otoritas rohani itu berdasarkan kepercayaan yang sungguh-sungguh pada pemimpin. Tapi pemimpin juga berdasar pada kebenaran. Pemimpin jemaat harus mencintai kebenaran dan benci untuk didengarkan ketika mereka tidak menunjukkan integritas dan kredibilitas sejati. Lebih lagi, kebenaran itu penting sekali dalam ke-persuasif-an pemimpin. Tapi persuasif menuntut adanya dialog; dan dialog membutuhkan keaktifan partisipasi dari semua jemaat. Seorang pemimpin yang punya karisma untuk membujuk orang untuk melakukan yang tidak benar, dan melakukannya, itu jahat/sihir. Dan buruk juga, jemaat yang mengikuti secara membabi buta. Terbujuk pada suatu kebohongan adalah bentuk terburuk dari perbudakan. Pemimpin-pemimpin dalam jemaat terikat dengan kebenaran dan melayaninya jauh di atas pelayanan mereka terhadap yang lain. Dan jemaat terikat dengan tanggung jawab untuk berdialog mengenai kebenaran. Kepercayaan yang ditimbulkan oleh pelayanan itu berbahaya jika tidak dikoordinasi dengan ketundukan pada kebenaran Injil. Jika kebenaran dan kepercayaan tidak berjalan bersama-sama dalam dasar kepemimpinan dalam jemaat, maka kepercayaan yang diciptakan dalam pelayanan ini akan menjadi suatu bentuk yang jelas dari kekuatan-kekuatan yang kita sebut manipulasi. Kepemimpinan Kristen yang murni, berdasarkan pada kebenaran dan kepercayaan, tidak pada kepemimpinan gaya dunia. Kepemimpinan dalam jemaat disebut sebagai kehidupan pelayanan yang dapat-dihormati. Kehidupan yang kredibel dan berintegritas seperti itu menimbulkan kepercayaan dari orang lain. Pemimpin, seperti semua anggota Tubuh Kristus, tunduk pada kebenaran dan hidup dalam kebenaran yang adalah Kristus sendiri. Seharusnya otoritarianisme kepemimpinan dan pasifnya kepengikutan tidak ada dalam kehidupan bergereja kita. - Cornelius Wing -
Minggu, 03 Februari 2008
Bunuh Lembu Emasmu
BUNUH “LEMBU EMAS” MU!“… sebab kamu tidak melihat sesuatu rupa pada hari TUHAN berfirman kepadamu di Horeb dari tengah-tengah api- supaya jangan kamu berlaku busuk dengan membuat bagimu patung yang menyerupai berhala apapun …” Ulangan 4:15-16 Peringatan Tuhan dalam Perjanjian Lama kepada bangsa Israel tersebut ternyata tidak ditaati. Mereka malah membuat patung anak lembu emas di Horeb. Mereka menukar kemuliaan mereka dengan bangunan sapi jantan yang makan rumput. Seperti bangsa Israel maka sebagian dari kita sering membangun rasa aman kita dengan menyembah sebuah bentuk yang dapat kita lihat dan sentuh. Ketakutan dan ketidakamanan kita seringkali mendorong untuk membuat “patung lembu emas” kita sendiri. Jika kita takut menjadi miskin maka “uang” akan menjadi “patung emas” yang kita sembah. Jika kita takut gagal maka “sukses”lah yang akan menjadi berhala kita. Atau jika kita takut sendirian maka sebuah “hubungan” akan kita jadikan patung tuangan kita.Pada dasarnya manusia terlalu mudah diperhamba oleh bentuk-bentuk. Konflik, peperangan dan pertumpahan darah sepanjang sejarah antara orang Kristen dan penyembah berhala, orang-orang Muslim dengan Yahudi, orang Katolik dan Protestan telah menunjukkan bahwa kita sesungguhnya telah membuat patung emas dari “agama” dan “denominasi” kita. Yesus tidak secara sungguh dipengaruhi oleh bentuk fisik sama sekali (bahkan tubuh-Nya secara fisik).Dia terus bergerak dalam pekerjaan mujizat sementara orang memperingatkan Dia: “Tetapi, Guru, dia berbau busuk!”, saat Dia mulai membangunkan Lazarus yang sudah 4 hari mati. Yesus mengetahui bahwa semua bentuk itu sementara dan relatif. Seperti nats berikut mengatakan : “Gemetarlah, hai bumi, di hadapan Tuhan, di hadapan Allah Yakub, yang mengubah gunung batu menjadi kolam air, dan batu yang keras menjadi mata air” (Mazmur 114:7-8).Ketika dikatakan kalau keluarga-Nya mencari Dia, Yesus mengatakan bahwa keluarga-Nya bukanlah yang lahir dari darah, tetapi dari pilihan.“Keluarga-Ku adalah mereka yang melakukan kehendak Tuhan” (Matius 12:46-50). Tuhan itu tidak terikat pada bentuk. Setelah Saul membuktikan kalau dia tidak dapat memimpin maka Tuhan kemudian mencari pria lain yang bernama Daud dan menyiapkan dia untuk jadi raja. Tuhan mengubah bentuk yang satu kepada bentuk yang baru … seorang pemimpin yang lebih bertanggung jawab, yang tidak akan memerintah dengan cara yang kuno dan mendominasi (1 Samuel 15:17-28). “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus (Galatia 3:28). Bahkan alasan dan dasar dari hubungan-hubungan pun adalah Kristus, bukan bentuk-bentuk. Warna kulit dan latar belakang sosial adalah bentuk yang sementara. Bentuk membatasi kita. Bentuk adalah sementara. Hanya Allah yang kekal. - CORNELIUS WING -
Langganan:
Postingan (Atom)